Sakti
Namanya Sakti. Usianya baru 8 tahun, dia masih duduk di
bangku SD kelas 2, namun ukuran tubuhnya sudah seperti anak SMA. Dengan tinggi
160 cm, dan berat 60 kg, bisa dikatakan dia adalah murid terbesar di kelasnya.
Kulitnya sawo matang cenderung hitam, dengan wajah ganteng mirip Aliando
membuat Sakti disukai oleh kawan-kawan sekelas, terutama oleh kawan perempuan.
Satu ciri khas Sakti adalah dua pusaran rambut yang ada di kepalanya, satu
berada di dekat ubun-ubun (seperti bocah kebanyakan), dan satu lagi berada di
depan mendekati dahinya yang sangat lapang itu. Ikal rambut tergelung yang
depan jika dipanjangkan akan berbentuk serupa huruf S, mirip dengan tokoh Clark Kent atau Superman.
Namun hal yang paling menonjol dari Sakti adalah keramahan
dan kebaikan hatinya. Setiap pagi dia akan menyapa semua orang yang dijumpainya
sepanjang perjalanan ke sekolah. Pak Reihan tetangga sebelah, Kang Asep penjual
ikan keliling, Mang Sup penjaga sekolah, semua akan disapanya dengan takzim. "Selamat pagi Pak Reihan, salam
sejahtera untuk Bapak. Selamat pagi Kang Asep, salam sejahtera untuk Akang.
Selamat pagi Mang Sup, salam sejahtera untuk Mamang. Kumaha, damang?"
Sakti juga selalu membela kawan yang disakiti oleh kawan
lain. Utamanya kawan perempuan. Kapanpun dia mendengar suara kawan perempuan
yang tersakiti, dia pasti menjadi pihak pertama yang menolong. Seolah dia
memiliki pendengaran super layaknya Superman.
Sakti terlahir di Ujung Genteng, sebuah desa di kecamatan
Ciracap, yang berjarak 3-4 jam perjalanan darat dari kota Sukabumi, Jawa Barat.
Desa ini berada di pesisir selatan Laut Jawa, dengan beberapa spot pantai
berpasir putih yang sering memikat perhatian wisatawan domestik maupun manca
negara, seperti Pantai Ujung Genteng, Pantai Pangumbahan, Pantai Amanda Ratu,
Pantai Ombak Tujuh, Pantai Cipanarikan, dll.
Bahkan Pantai Amanda Ratu dijuluki Tanah Lot-nya Pulau Jawa
karena adanya kemiripan antara kedua tempat yang cantik tersebut. Sama-sama
terdapat pulau kecil yang letaknya tidak jauh dari bibir pantai. Pantai ini
juga memiliki tebing karang nan indah. Menatap langsung deburan ombak memecah
karang memberi sensasi wisata yang berbeda dengan lokasi lainnya.
Ujung Genteng juga menyimpan satu situs penting, yang hanya
ada dua di Indonesia, yaitu penangkaran penyu hijau. Satu situs lagi terletak
di Pulau Dewata. Dede, ayah Sakti bekerja sebagai pemandu dan penjaga di Balai
Penangkaran Penyu tersebut. Selain memandu wisatawan yang ingin melihat proses
penetasan tukik, tugas ayah Sakti adalah memastikan semua tukik yang telah
menetas dikembalikan ke habitat asalnya, yaitu lautan lepas.
Sebagai penghuni pesisir selatan Laut Jawa, maka mitos
mengenai penunggu laut selatan yaitu Nyi Roro Kidul sangat kental dalam pikiran
sebagian besar penduduk desa Ujung Genteng, termasuk orangtua Sakti. Dan dua
pusaran rambut di kepala seorang jabang bayi merupakan sebuah peristiwa yang
langka. Dari seribu kelahiran mungkin hanya ada satu atau dua jabang bayi
dengan ciri seperti itu.
Keyakinan warga Ujung Genteng, jabang bayi dengan ciri aneh
seperti itu merupakan hulubalang kerajaan penunggu laut selatan. Maka ketika
ada bayi terlahir dengan dua ikal di kepalanya, masyarakat sekitar akan
melakukan ritual 'ngaruat' untuk
menjaga si jabang bayi tetap selamat. Menurut tetua desa, kata ruat berasal dari bahasa Sansekerta yang
berarti patah. Jadi ngaruat
mengandung makna mematahkan akibat-akibat yang buruk seperti malapetaka, bala
dan bencana, dari pembawaan sesuatu atau seseorang yang telah ditakdirkan.
Biasanya prosesi ngaruat dilakukan dengan menggelar pertunjukan wayang golek
dengan mengambil kisah Batara Kala yang dikalahkan oleh Batara Wishnu.
Kejahatan dikalahkan oleh kebajikan.
Sesepuh masyarakat sekitar juga berpesan agar sepanjang
hidupnya, anak dengan ciri seperti ini dihindarkan dari berenang di laut
selatan, dimanapun itu, agar tidak diambil oleh penunggunya.
***
Gejala keanehan Sakti sudah terlihat ketika dia masih
berada dalam rahim ibunda. Pernah suatu kali ibunda Sakti sedang mencuci di
sungai, dan ada seorang perempuan tua yang memerhatikan perut buncit ibunda
Sakti, kemudian berkomentar, "Selamat
Ibu. Ibu sedang mengandung seorang putra yang luar biasa. Kelak dia akan jadi
penolong sesama dan agamanya"
Ibunda Sakti hanya tersenyum simpul. Dia sudah tidak heran, karena kejadian serupa sudah beberapa kali dia alami.
Ibunda Sakti hanya tersenyum simpul. Dia sudah tidak heran, karena kejadian serupa sudah beberapa kali dia alami.
Suatu hari dia merasakan perutnya sangat mulas dan
panas. Saat itu usia kandungannya berjalan 4 bulan. Tengah malam buta, tetiba
saja dia merasakan remasan luar biasa di dalam perutnya. Seolah diaduk oleh
molen pembuat adonan cor, perut ibunda Sakti betul-betul terasa nyeri tak
terkira.
Untung Dede sang ayah sigap menolong. Dengan kemampuan yang
diperoleh dari kakek buyutnya, Dede menempelkan telapak tangan kanannya ke
pusar ibunda. Setelah merapal beberapa mantra, keluarlah hawa dingin dari
telapak tangan itu yang menembus sampai ke dalam gua garba, tempat jabang bayi
bersemayam. Luar biasanya penderitaan yang dialami ibunda langsung sirna.
Lenyap tak berbekas, ibarat panas sepenanggungan diguyur oleh hujan sehari.
Rupanya sang jabang bayi berhasil merasakan energi positif yang ditransfer
ayahnya melalui telapak tangannya tadi.
Dalam kondisi 'trance'
melakukan terapi kepada istrinya, Dede mendapatkan wisik bahwa anak yang
berada di dalam kandungan istrinya adalah seorang anak lelaki. Selanjutnya
suara halus itu mengatakan bahwa putranya merupakan anak yang luar biasa, namun
akan mengalami kesulitan dalam proses kelahirannya, serta akan sering menderita
sakit.
Maka keesokan harinya Dede memeriksakan kandungan istrinya
ke dokter obstetry gyneacology di
Rumah Sakit terdekat, yaitu RS Pelabuhan Ratu. Setelah melakukan USG, dr.
Untung, Sp.OG mengabarkan bahwa kemungkinan besar anak mereka adalah laki-laki.
Bergetar hati Dede mendengar kabar tersebut. "Wisik pertama benar, berarti.... ", belum kelar Dede
membathin, dr. Untung melanjutkan, "Dari
hasil USG ini terpantau juga bahwa posisi plasenta berada di bawah sehingga
menutupi jalan lahir. Istilah kedokterannya adalah Plasenta Previa"
Deg, jantung Dede makin kencang berdegub. "Wisik kedua juga terbukti benar. Duh Gusti apa salah dan dosaku,
sehingga anakku yang bakal menerima azabMu?", Dede kembali bergumam
dalam hati. Dia tidak berani membayangkan bahwa wisik ketiga juga akan menjadi
sebuah keniscayaan. Bahwa anaknya akan sering menderita sakit.
Dede memutar otak, melakukan tirakat, bertanya ke sana
kemari untuk meredakan kegundahan yang melandanya. Lima bulan berselang,
setelah melalui dua set up
persalinan, yaitu induksi farmakologi (sintetik
prostaglandin) dan induksi mekanik (kateter
balon foley), jabang bayi belum mau beringsut dari rahim ibunda juga,
akhirnya dr. Untung memutuskan untuk mengambil tindakan operasi cesar.
Dan kala itu Dede sudah siap memberikan sebuah nama untuk
sang jabang bayi yang sekaligus merupakan solusi dari kegalauannya selama ini.
Sakti adalah nama yang dipilih Dede untuk jabang bayinya. Sakti merupakan
anagram dari kata sakit, wisik ketiga yang didengarnya malam itu. Dengan
digesernya susunan huruf ini, Dede berharap kondisi jabang bayinya benar-benar
menjadi Sakti. Menjadi orang yang mampu berbuat sesuatu yang melampaui kodrat
alam.
Nama merupakan doa. Dan tiada doa yang paling mustajab
kecuali doa orang tua. Ketika berumur 5 tahun, Sakti pernah tertabrak mobil
sehingga terlempar sejauh 2 meter sampai masuk selokan. Semua orang yang
melihat langsung mengucap kalimah istirja.
Innallillahi wa innailaihi rajiuun.
Ibunda Sakti menutup mulut menahan teriakan dan isak
tangis. Tegang mencekam, suasana saat itu. Sebelum ada orang yang menuju
selokan untuk menolong, kepala Sakti tetiba menyembul dari dalam selokan. Ikal
bergelung serupa huruf S tampak melambai-lambai. Dia keluar dari selokan sambil
menangis dan berlari menghambur ke pelukan ibunda. Luar biasanya kondisi Sakti
tetap sehat wal afiat, tak kurang satu apapun. Alhamdulillah, semua orang menghela nafas lega. Dan Dede adalah
orang yang paling merasakan kelegaan tersebut.
***
Suatu hari sekolah Sakti mengadakan karya wisata ke Pantai
Karang Hawu, Pelabuhan Ratu. Nama Karang Hawu berasal dari adanya gugusan batu
karang yang menyerupai hawu atau tungku di lokasi itu. Pantainya sangat landai
dan berpasir putih, cocok untuk bermain anak-anak. Di belakang garis pantai,
menyembul bukit-bukit yang rindang oleh pepohonon. Salah satu bukit itu ada
yang dikeramatkan warga lokal. Di sini, terdapat kompleks makam, satu di
antaranya dipercaya sebagai petilasan Nyai Roro Kidul, sang penguasa laut
selatan.
Sakti dan kawan-kawan sangat senang bisa bermain di
hamparan pasir putih tersebut. Ada yang bermain bola, bermain pasir membuat
istana, ada juga yang bermain lompat karet. Semua siswa, juga guru asyik terlena
dalam suka cita hari itu. Menjelang adzan dhuhur, ketika bapak ibu guru
mengumpulkan semua murid ke masjid untuk beristirahat dan persiapan shalat,
terjadilah kegemparan. Sakti hilang!
Pak Adun, guru pembimbing acara itu mengabsen berkali-kali,
namun Sakti tidak menyahut juga. Bapak ibu guru segera berpencar, beberapa
melakukan pencarian, dan ada yang melapor ke pihak berwenang. Pak Adun kemudian
meminta wakilnya untuk membawa pulang semua siswa ke Ujung Genteng, sementara
dia sendiri bersama seorang guru, dibantu masyarakat sekitar dan pihak
berwenang melakukan penyisiran pantai Karang Hawu.
Dengan membawa semua alat yang bisa mengeluarkan
bunyi-bunyian keras seperti kentongan, panci, galon aqua, kendang, rebana,
kelompok kecil masyarakat itu memukul alat yang mereka pegang sambil
memanggil-manggil nama Sakti. Mereka berharap seandainya Sakti diculik mahluk
halus, ketika mendengar suara riuh rendah itu maka pengaruh ghaibnya akan
sirna. Namun sampai tengah malam usaha mereka belum membuahkan hasil. Sakti
seperti lenyap ditelan laut selatan. Tiga hari, tiga malam mereka mencari.
Sebagian menyisir pantai, bahkan sampai ke Inna Beach Hotel, dimana salah satu
kamarnya konon didesain khusus untuk Nyai Roro Kidul. Sakti tak ada di sana.
Sebagian lagi menyusuri laut menggunakan perahu bercadik,
namun mereka pulang dengan tangan hampa. Sebagian yang lain menelisik di
kerimbunan pepohonan serta celah-celah karang, nihil juga.
Ibunda Sakti menangis berkepanjangan. Airmatanya sampai
habis terkuras oleh ratapan yang tiada henti. Anak semata wayang kesayangannya
hilang. Separuh dunianya serasa runtuh. Dede mencoba menghibur istrinya agar
tabah dan berserah. Berbeda dengan istrinya, Dede tetap tegar menghadapi ujian
ini. Entah kenapa dia masih bisa merasakan kehadiran Sakti di sekitarnya. Dia
sangat yakin bahwa Sakti masih hidup, hanya dia tidak tahu dia berada dimana.
Pada malam ketiga pencarian, dalam kondisi lelah tak
terhingga, Dede mendengar suara perempuan sangat halus yang datang dari celah
karang. Suara itu menyuruh Dede segera menuju pulau kecil di dekat Pantai
Amanda Ratu. Tanpa membuang waktu, Dede segera mengajak beberapa orang untuk
menemaninya mengikuti petunjuk tak kasat mata tersebut. Benar saja, di tengah
pulau itu dilihatnya sesosok tubuh tertidur pulas dengan kepala bertumpu pada
seekor penyu sebesar bantal.
Bergegas Dede menggendong tubuh yang ternyata memang Sakti
tersebut dan membawanya ke dalam mobil. Begitu tubuh Sakti digendong, penyu
tadi langsung mencelupkan dirinya ke laut. Bersamaan dengan itu Dede mendengar
suara halus yang tadi menuntunnya ke tempat itu, "Jaga anakmu baik-baik. Hanya sekali ini aku bisa
menyelamatkannya, sebagai balas jasa anak ini pernah menyelamatkan
cucuku"
Dede tidak terlalu menggubris bisikan kedua ini. Dia
terlalu gembira menemukan anaknya. Dia ingin segera meluncur ke rumah untuk
mengabari istrinya bahwa anak semata wayang mereka masih hidup. Tiga hari tiga
malam Sakti terlelap di kamarnya. Selama itu Dede dan istrinya menunggui secara
bergantian. Mereka tidak ingin kehilangan lagi anak kesayangan mereka. Hari ke
empat, selepas shalat subuh, Dede mendengar suara lirih anaknya, "Aairrr. Minuuumm" Dengan
penuh kasih sayang, Dede menempelkan leher air mineral ke mulut Sakti, "Ini Nak. Minumlah"
"Ayyaah, aku ada dimana?", Sakti mengajukan pertanyaan itu begitu menyadari kehadiran ayahnya. "Kamu sudah berada di rumah, Sayang. Kamu aman. Ada ayah dan ibu menjagamu di sini"
"Ayyaah, aku ada dimana?", Sakti mengajukan pertanyaan itu begitu menyadari kehadiran ayahnya. "Kamu sudah berada di rumah, Sayang. Kamu aman. Ada ayah dan ibu menjagamu di sini"
***
Pagi itu Sakti makan lahap sekali. Hampir dua piring nasi
tandas disikatnya. Lauknya cukup ikan salem bakar, tempe goreng dan sambal
korek. Dede dan istrinya merasakan kebahagiaan tiada tara menyaksikan anaknya
telah kembali.
Ketika kondisi Sakti sudah stabil, dan dia sudah mampu
berbicara dengan normal, mulailah dia menceritakan pengalamannya hilang selama
tiga hari kemarin. Anehnya dia merasa pergi hanya selama setengah hari.
Siang itu, ketika dia sedang asyik bermain bola dengan
kawan-kawannya, dia dihampiri seorang kakek yang berdandan seperti seorang
petani. Orang tua itu memakai baju dan celana komprang berwarna hijau lumut dan
caping bambu kerucut. "Anak muda,
ikutlah denganku sekarang. Ada yang ingin kutunjukkan kepadamu"
Seolah terkena ilmu sirep, Sakti merasa tak kuasa melawan
ajakan kakek itu. Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Sakti mengekor kakek tadi
menuju ke tengah laut. Keajaiban terjadi ketika kakek tersebut masuk ke air.
Dia berubah ujud menjadi penyu hijau sebesar bantal. Meski menyadari keajaiban
tadi namun kaki Sakti tetap terseret bergerak menuju air. Dan ketika tubuhnya
terendam air laut selatan, Sakti merasakan sebuah keanehan.
Tubuhnya tetiba saja menjadi kecil. Tangan dan kakinya menjadi pendek dan
berbentuk pipih seperti dayung. Dia merasa menggendong tabung oksigen di
punggungnya dan berenang mengikuti penyu hijau sebesar bantal tadi.
Setengah jam Sakti berenang mengikuti penyu hijau tadi,
sebelum mereka memasuki sebuah kubah berwarna putih transparan seperti
gelembung balon busa yang sering dia mainkan. Di dalam kubah raksasa itu
terletak pelbagai bangunan mirip menara, namun dengan arsitektur modern.
Beberapa kendaraan mirip mobil bersayap terbang hilir mudik di angkasa menara
tadi. Rasanya dia pernah melihat suasana seperti ini. Sakti mengalami deja-vu. Setelah mengumpulkan semua
ingatan yang dimiliki, akhirnya Sakti menyadari suasana itu sangat menyerupai
kota modern Wakanda dalam film Black
Panther yang ditontonnya bersama ayah di Sukabumi beberapa waktu
sebelumnya.
Wow, Sakti sangat takjub melihat sebuah kota modern berada di
dasar samudera seperti itu. Begitu menyentuh dasar kubah raksasa tersebut,
secara ajaib penyu hijau tadi kembali menjadi sesosok manusia. Namun bukan seorang
kakek, melainkan seorang pemuda gagah dan kekar dengan seragam ketat futuristis
, seperti awak pesawat USS Enterprise
NCC-1701-J dalam film Star Trek.
Hanya saja uniform ini berwarna hijau lumut, dan pada dada kanannya tercetak
sebuah logo mirip huruf S.
Belum hilang rasa herannya, Sakti bertambah takjub ketika
menyadari ternyata dirinya juga telah menjelma menjadi seorang pemuda gagah dan
kekar dengan seragam sama persis dengan pemuda yang berjalan di depannya. Lebih
takjub lagi ketika dia melihat rambut ikal tergelung di dahi pemuda itu yang
menyerupai huruf S. Sama persis seperti ikal tergelung miliknya.
***
Mereka berdua berjalan beriringan memasuki sebuah ruang
pertemuan yang sangat besar, seluas lapangan bola, berisikan ribuan sosok
pemuda yang nyaris sama dengan mereka berdua. Seragam. Ruangan tersebut di-design sangat futuristis. Sejauh mata
memandang warna yang dominan adalah soul
silver. Perak yang seperti menyala redup. Bernyawa.
Lantainya nyaris tak kentara disaput ruam tipis mirip dry ice. Meski memiliki luas seperti
lapangan bola, namun tak terlihat satu tiangpun menyangga atap kubahnya. Kubah
itu seperti melayang, dengan gemerlap lampu yang menyinari seluruh ruang.
Jauh di bagian depan ruangan terletak semacam stage, dengan sebuah singgasana besar
berwarna keemasan. Ukiran pada singgasana itu berbentuk kepala burung garuda
menengok ke kanan. Mirip dengan garuda pancasila yang ada di ruang kelas Sakti.
Pada sebelah kiri kanan singgasana terpampang masing-masing sebuah layar besar
yang saat itu menyorot sosok yang sedang duduk di singgasana tersebut.
Seorang wanita cantik berusia sekitar 40 tahunan duduk
dengan anggun, penuh wibawa. Seperti halnya Sakti, pemuda yang tadi berjalan
bersamanya, dan seluruh makhluk yang hadir di ruangan tersebut, wanita tadi
juga mengenakan uniform yang sama. Bedanya hanya pada jubah besar berwarna
hitam pekat, dengan krah tinggi yang menambah angker penampilannya. Matanya
tajam menelisik semua sosok yang hadir di ruangan itu. Rupanya wanita tadi
merupakan pimpinan di telatah bawah laut ini yang dipanggil Sang Nyai. Semua orang menunjukkan
kepatuhan bersemu takut kepada Sang Nyai. Namun alih-alih takut, mencermati
sosok Sang Nyai ini, Sakti justru teringat pada tokoh Maleficent yang diperankan secara apik oleh Angelina Jolie, salah satu aktris idolanya.
Duduk di pangkuan Sang Nyai, seorang anak laki-laki usia
sekitar 8 tahun, menggelendot manja sambil memainkan ujung jubah Sang Nyai.
Rambut ikal tergelung di dahi anak laki-laki itu menjuntai menyerupai huruf S.
Matanya tak kalah tajam menyorot hadirin ibarat follow spotlight pada sebuah pertunjukan musik.
Rupanya acara saat itu merupakan kumpulan triwulanan yang
menghadirkan seluruh punggawa keraton futuristis bawah laut tersebut.
Agendanya hanya satu, yaitu perekrutan sebanyak mungkin makhluk hidup
agar bersekutu dengan mereka. "Apa
kabar sedulur semua. Rahayu?", Sang Nyai mulai menyapa warganya. "Rahayuuuu. Hoh. Hah!", kompak
mereka menjawab, bahkan diakhiri dengan yel seperti kalau Sakti latihan
pramuka. "Seperti biasanya, Ingsun
ingin mendengar apa strategi sedulur semua agar semakin banyak umat manusia
yang bersekutu dengan kita?", Sang Nyai melanjutkan salam sapanya
dengan langsung masuk pada pokok tujuan kumpulan triwulanan itu.
Seorang pemuda dari sudut kiri maju satu langkah,
menghaturkan sembah dengan menangkupkan kedua belah telapak tangannya sembari
membungkuk, baru kemudian memberikan usulannya, "Mohon ijin mengusulkan Sang Nyai. Kami dari telatah Pasundan
Timur."
"Silakan lur"
"Menurut hemat kami, kita masih bisa meneruskan cara-cara lama yang ampuh, yaitu menawarkan kebiasaan-kebiasaan yang mengasyikkan sehingga para manusia lupa mengabdi kepada Sang Pencipta. Malima sampai kapanpun masih bisa menjadi penghalang umat manusia menuruti perintah Penciptanya"
"Baik, Ingsun tampung dulu usulannya. Bagaimana menurut sedulur yang lain?"
"Silakan lur"
"Menurut hemat kami, kita masih bisa meneruskan cara-cara lama yang ampuh, yaitu menawarkan kebiasaan-kebiasaan yang mengasyikkan sehingga para manusia lupa mengabdi kepada Sang Pencipta. Malima sampai kapanpun masih bisa menjadi penghalang umat manusia menuruti perintah Penciptanya"
"Baik, Ingsun tampung dulu usulannya. Bagaimana menurut sedulur yang lain?"
Seorang pemuda dari sudut kanan gantian maju satu langkah.
Dia melakukan ritual yang sama dengan pemuda sudut kiri, sebelum memberikan
usulannya, "Mohon ijin Kanjeng Nyai.
Kami dari telatah Pasundan Barat."
"Silakan Lur"
"Menurut hemat kami, kita lanjutkan hasutan dan aral agar para manusia semakin malas melakukan peribadatan"
"Ada usulan lain?"
"Silakan Lur"
"Menurut hemat kami, kita lanjutkan hasutan dan aral agar para manusia semakin malas melakukan peribadatan"
"Ada usulan lain?"
Hening sejenak. Hanya music zen lembut serta gemericik air
yang terdengar memenuhi ruang silver tadi.
“Hmm baiklah kalau
kalian semua belum ada ide lain. Coba kita bahas dulu dua ide ini. Menurut
Ingsun ide pertama sudah sangat usang. Umat manusia di atas sana sudah semakin sadar
dengan diri mereka. Usulan kedua juga sama kunonya. Dari dulu kerjaan kita
memang menghalangi mereka dengan pelbagai aral agar manusia melupakan
peribadatan mereka. Namun toh lihatlah, masjid makin subur tumbuh dimana-mana.
Itu artinya semangat ibadah mereka memang tak pernah luntur dimakan usia”
Tetiba saja anak laki-laki tadi turun dari pangkuan Sang
Nyai dan ikut bersuara, "Uti, aku
punya usul. Boleh tidak?"
Rupanya anak laki-laki tadi adalah cucu kesayangan Sang
Nyai, yang dikenal cerdas dan penuh ide cemerlang. "Tentu saja boleh Sakti. Kamu mau usul apa Pinter?",
ketegasan Sang Nyai langsung lumer berhadapan dengan cucu kesayangannya.
"Waktu aku
sedang bermain di dunia atas, aku pernah diambil oleh beberapa santri dan
dibawa pada saat mereka ngaji. Aku sempat mendengar tausiah dari ustadz mereka
bahwa Allah, Tuhannya para manusia atas itu tidak akan menerima ibadah jika
disertai kemusyrikan dan kebodohan. Maka biarkan sahaja para manusia itu
melakukan ibadah mereka. Jika perlu Uti kerahkan pasukan Uti untuk
membantu mereka beribadah, karena semakin Uti memberikan aral, maka akan
semakin gigih para manusia itu berjuang. Namun Uti mesti tetap melancarkan
program terdahulu yaitu mengenai kekuasaan Uti di telatah Pasundan ini agar
para manusia tersebut tetap melakukan upacara ruwatan, larungan dll sehingga
hal ini akan membuat amal ibadah mereka yang lain juga tertolak. Kalaupun Uti
ingin membuat aral, buatlah aral tersebut sekecil mungkin, hampir tak kentara
dan seolah bukan merupakan sebuah kewajiban, contohnya adalah mengaji. Biarkan
saja para manusia itu melakukan kewajiban ibadah mereka dalam kebodohan, karena
ibadah itu juga pasti tertolak. Jika ibadah-ibadah mereka tertolak, otomatis
mereka akan menjadi golongan kita juga, hihihi", meski badannya kecil cara bicaranya juga selucu anak usia
8 tahun, namun usulannya membuat seisi ruangan itu tercengang. Sesuatu yang
justru tidak pernah mereka pikirkan.
Sang Nyai tersenyum puas. Itulah salah satu alasan dia
sangat menyayangi Sakti. Selain lucu, anak ini juga sangat cerdas. Bahkan
terkadang mampu berpikir di luar pemikiran anak seusianya. "Sakti, Sakti, kamu memang calon penerus Uti, usulanmu ini sangat
brilian sekali. Ada lagi yang mau kamu sampaikan Pinter?"
"Iya
Uti", agak ragu Sakti meneruskan, "Tolong kembalikan pemuda itu ke
dunia atas. Karena dialah yang telah menyelamatkan aku waktu dimainkan oleh
anak-anak santri waktu itu", kata Sakti (sang Cucu) sambil menunjuk
diri Sakti. Ya, Sakti ingat dia memang pernah menyelamatkan seekor tukik dari
tangan beberapa kawan santrinya yang menghalangi perjalanan tukik-tukik menuju
lautan lepas.
Dan setelah itu Sakti tidak ingat apa-apa lagi. Tahu-tahu
dia sudah berada di kamarnya dalam kondisi sangat haus dan lapar.
"Begitu ceritanya ayah. Maka kalau boleh aku minta sesuatu kepada ayah agar masyarakat kita terbebas dari gangguan dunia lain"
"Apa itu anakku. Sekembalinya dirimu, sebagai perwujudan rasa syukur, Ayah pasti turuti keinginanmu"
"Benar ya Yah. Yang pertama, tinggalkan semua kebiasaan Ayah yang bertentangan dengan agama kita. Aku tidak mau ayah terperosok dalam kemusyrikan. Dan satu lagi, mulailah mengaji Ayah. Aku masih ingat kata-kata Sakti cucu Sang Nyai, bahwa Allah tidak akan menerima dua jenis ibadah, yaitu:
1. Ibadah disertai kemusrikan
2. Ibadah disertai kebodohan
Itulah alasan kenapa ayat yang pertama diturunkan adala iqro. Bacalah agar kita terbebas dari kebodohan. Maka mengajilah dulu sebelum beribadah Yah"
"Begitu ceritanya ayah. Maka kalau boleh aku minta sesuatu kepada ayah agar masyarakat kita terbebas dari gangguan dunia lain"
"Apa itu anakku. Sekembalinya dirimu, sebagai perwujudan rasa syukur, Ayah pasti turuti keinginanmu"
"Benar ya Yah. Yang pertama, tinggalkan semua kebiasaan Ayah yang bertentangan dengan agama kita. Aku tidak mau ayah terperosok dalam kemusyrikan. Dan satu lagi, mulailah mengaji Ayah. Aku masih ingat kata-kata Sakti cucu Sang Nyai, bahwa Allah tidak akan menerima dua jenis ibadah, yaitu:
1. Ibadah disertai kemusrikan
2. Ibadah disertai kebodohan
Itulah alasan kenapa ayat yang pertama diturunkan adala iqro. Bacalah agar kita terbebas dari kebodohan. Maka mengajilah dulu sebelum beribadah Yah"
Dede agak takjub dengan pemaparan anak semata wayangnya
yang seolah mewujud seperti seorang ustadz saja. Namun dia membenarkan semua
kata-kata anaknya tadi, dan dalam hati dia sudah ber-azzam untuk memulai
lembaran baru sebagai seorang muslim yang kaffah dengan meninggalkan semua
ritual syirik yang selama ini dia lakukan dan mulai mengaji Al Quran dan hadits
sebagai satu-satunya pedoman hidup.
Telatah Pasundan Barat, awal Ramadhan 1440H
Komentar