Cinta Yang Tertunda
Siang itu terik cahaya mentari lumayan memanggang sesiapa
saja yang berkeliaran di seputaran Kota Tua Jakarta. Puasa baru menginjak pada
hari ke-tujuh, namun ramainya bilangan bersejarah di bagian barat ibukota
tersebut sudah laiknya mau lebaran saja. Aku memacu langkah kakiku keluar dari Stasiun
Kota, bergegas menuju Museum Wayang demi segera merasakan sejuknya perata suhu
ruangan di gedung museum yang sudah berusia lebih dari seratus tahun itu.
Pagi tadi, tetiba saja kawan kuliahku yang sudah beberapa lama
tak berkabar, mengajak untuk menyaksikan pameran wayang yang baru datang dari
India, sekaligus beberapa pagelaran seni wayang kulit dari Jawa.
Sejujurnya aku tidak terlalu menyukai budaya India, namun
memang aku menyukai dunia wayang. Sedari kecil orang tuaku sering mengajakku
menonton pertunjukan wayang kulit yang biasanya digelar selama semalam suntuk
untuk memeringati peristiwa tertentu, seperti ruwatan atau pernikahan. Selain
menonton pertunjukan live, aku juga
senang mendengarkan siaran wayang di radio. Apalagi jika dalangnya adalah Ki
Anom Suroto, dan bagian yang paling aku suka adalah goro-goro.
Banyolan antar Punokawan, yaitu Semar, Petruk, Gareng dan
Bagong ini biasanya keluar dari pakem, dan menyentil kehidupan sehari-hari.
Menurut saya lucunya mengalahkan para komika karbitan yang biasanya hanya
berani mengumbar lelucon porno atau makian kasar demi memancing tawa penonton.
Namun yang membuatku memaksakan diri berdesak-desakan dengan
para turis lokal maupun mancanegara menuju museum wayang adalah iming-iming
dari kawan kuliah tadi, "Aku punya
kejutan untuk kamu di museum wayang. Awas kalau enggak datang siang ini"
Bukan sebuah kebiasaan kawan ini bermain misteri, kejutan
atau bahkan ancaman. Dia adalah seseorang yang sangat lurus dalam bersikap,
lugas bicaranya dan jarang bermain tebakan. Bahkan di kalangan kawan kantornya
di bea cukai dia termasuk dalam kelompok Thaliban yang pantang menerima uang
suap. Meski sudah menjadi rahasia umum bahwa Kementrian Keuangan dan jajaran di
bawahnya merupakan institusi pemerintah yang paling rawan suap, namun uang ajaib
yang setiap pagi nongol di lacinya yang terkunci, tidak akan pernah dibawanya
pulang. Dia tahu bahwa membawa uang haram hanya akan meracuni anak dan
istrinya. Makanya dia gunakan uang ajaib tersebut untuk membina dan
mengembangkan unit marching band yang
berada dalam asuhannya.
Loh, khan bisa saja uang ajaib tersebut ditolak? Dia pernah
melakukannya, dan akibatnya justru dia dimusuhi kawan satu kantor yang
berakibat mentalnya dirinya berdinas ke Kupang. Yah begitulah hukum mayoritas. Yang banyak akan berkuasa. Tak penting
benar atau salah kelompok tersebut.
"Sampai mana Marno?" Whatsapp mesenger di layar ponselku menunjukkan pesan
darinya. "Bentar lagi masuk museum.
Nunggu di mana?" Singkat saja kubalas pesannya.
"Ruang
Pagelaran Wayang. Deket pintu keluar. Sebelah kanan tempat penjualan
souvenir," detail dia menerangkan
lokasi contact point kami.
Begitu memasuki gedung yang dibangun pada tahun 1640 yang
awalnya merupakan gereja “De Oude Hollandsche Kerk” (Gereja Lama Belanda) ini,
aku merasakan sebuah sensasi aneh. Bukan karena bangunan ini adalah bangunan
kuno, karena setahuku gedung ini sudah dua kali dipugar ulang, yaitu tahun 1732
dan namanya diubah menjadi “De Nieuwe Hollandse Kerk (Gereja Baru Belanda)
hingga tahun 1808, di mana terjadi gempa dan meruntuhkan bangunan ini. Kemudian
didirikan lagi pada 1912 dan digunakan sebagai Museum Batavia yang dibuka secara resmi
pada 22 Desember 1939 oleh Jonkheer Meester Aldius Warmoldus Lambertus Tjarda
van Starkenborg Stachouwer, Gubernur Jenderal Belanda yang terakhir. Aku
merasakan perbedaan panasnya suhu luar, sehingga berada di dalam museum yang
memang diset dengan suhu di bawah suhu kamar ini, diriku tetiba saja menggigil. Merasakan
perbedaan panas dan dingin dunia saja sudah membuatku menggigil sedemikian
rupa, apalagi membayangkan panas dinginnya naar nanti. Naudzubillah tsuma naudzubillah.
Gedung yang mulai dioperasikan menjadi Museum Wayang pada tanggal 13 Agustus 1975 oleh Gubernur
Jakarta waktu itu yaitu bapak Ali
Sadikin ini, memiliki koleksi 4000 wayang dan boneka dari berbagai tempat di
dalam dan luar negeri, seperti India, Belanda, Malaysia, Thailand, Cina,
Vietnam, serta koleksi topeng, gamelan, dokumen, peta dan foto-foto tua. Di
lantai dasar, terdapat Prasasti yang menandai
kubur Jan Pieterszoon Coen, penakluk
Batavia pada 1619, beberapa meter dari pintu masuk. Ada pula beberapa prasasti
lain menempel pada dinding yang letaknya berseberangan dengan prasasti makam
Jan Pieterszoon Coen. Penempatan koleksi wayang, pengaturan cahaya ruangan,
pilihan koleksi wayang bermutu tinggi, lantai berlapis bilah kayu serta lempeng
akrilik pada benda pajang, membuat museum ini berkesan mewah dan klasik bagi
para pengunjung,
Sembari
mencari ruang pertunjukan, mataku menyapu berbagai koleksi dari dalam dan luar
negeri. Rupanya museum ini tidak hanya menyimpan “wayang” dalam artian boneka
yang digunakan untuk pertunjukkan, tetapi juga boneka lain dari beberapa daerah
di Indonesia yang memiliki maknanya sendiri. Ada Wayang Purwa dari Bali, Wayang
Kulit Purwa dari Banjar Kalimantan Selatan, wayang golek dari Betawi, Wayang
Revolusi, boneka Punch and Jody dari Inggris yang dibuat pada 1971, koleksi
Boneka Guignol dari Perancis, boneka dari India, Boneka Sigale-gale dari
Sumatera Utara, Gundala-gundala yang juga berasal dari daerah Sumatera Utara
dan banyak lagi.
Aku
melihat sign age yang menunjukkan
arah ruang pertunjukan. Kini aku berhadapan dengan lorong keluar yang agak
sempit namun sangat tinggi dindingnya, yang memberikan kesan tersendiri bagiku,
seolah sebuah labirin yang bakal menyesatkan. Namun dugaanku meleset, lorong
keluar ini berujung pada ondel-ondel Betawi serta toko suvenir. Di sebelah
kanan toko souvenir itulah terdapat ruangan yang digunakan untuk menggelar
berbagai pertunjukkan wayang yang sudah dijadwal untuk masing-masing grup
pementasan. Pagelaran dilakukan setiap hari Minggu mulai pukul 10.00 – 14.00
WIB. Aku melirik sekilas arloji Alexander
Christy-ku dan melihat jarum panjang baru bergeser ke angka 11, sementara
jarum pendek berada mendekati angka 10. Masih ada waktu 5 menit sebelum
pertunjukan dimulai.
Begitu
kepalaku melewati pintu masuk, Ahmad sudah melambaikan tangannya memberiku kode
untuk segera menempati satu kursi kosong di samping kanannya. Bergegas aku
menghampirinya dan seperti biasa kami melakukan ‘tribal hand shake’, yang merupakan tradisi kami semenjak duduk di
bangku kuliah dulu. Kepal ketemu kepal, siku ketemu siku, jabat tangan erat, kemudian telapak tangan
ditarik seperti ombak mengayun ke belakang. “Tumben
banget sih Mad, ngajakin ketemuan di sini? Biasanya khan di Tamini atau Poin
Square, sembari menikmati nasi goreng teri pete yang puedasnya mantab. Ada apa
rupanya?” cecarku sejurus kemudian ketika aku sudah duduk dengan mapan. “Sssst, pelankan suaramu No, pertunjukan akan
segera dimulai. Nanti kamu akan mengerti sendiri kenapa aku menyuruhmu ke sini.
Dijamin enggak nyesel deh. Jawaban Ahmad ini justru menambah rasa
penasaranku saja.
Dikarenakan
lokasi, situasi dan kondisi, pagelaran wayang kulit di museum wayang mesti
dimodifikasi baik dalam durasi maupun penampilan. Durasi pagelaran wayang kulit
yang biasanya semalam suntuk dipangkas hanya menjadi 4 jam. Penampilan standard
wayang juga dimodifikasi. Baik dalam hal penokohan dengan menambahkan beberapa
karakter baru, juga dihadirkannya bintang tamu
pelawak atau pun sinden agar lebih menarik perhatian penonton.
Hari
ini dalang yang mengisi pagelaran wayang adalah Ki Dayu Aji Pamungkas beserta
nayogo dan karawitan dari Solo. Kisah yang digelar adalah Petruk Dadi Ratu. Sejatinya
Petruk tidak berniat memegang tampuk kekuasaan. Dia adalah anak Semar, dan
anggota Punokawan yang bertugas merawat para Pandawa. Petruk nekat menjadi raja
dan bergelar Prabu Kanthong Bolong karena dia tidak tahan dengan ulah raja-raja
dan bangsawan di Mayapada, kerajaan Kahyangan yang dipimpin Bethara Guru.
Petruk sudah hafal betul ulah mereka karena sudah mengabdi sebagai punakawan
selama puluhan tahun.
Dalam
waktu semalam, dengan penampilan barunya dia melabrak semua tatanan yang sudah
terlanjur menjadi 'main stream' dan
model kekuasaan di Mayapada. Dia mengubah tatanan pemerintahan secara radikal
dan memotong semua jalur Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di antara para dewa di
kahyangan, sehingga membuat resah beberapa pihak.
Maka
akhirnya dewa-dewa itu bersekongkol
membuat skenario melenyapkan raja pengusik status
quo mereka, yakni Raja Kanthong Bolong atau Petruk. Sayangnya, persekutuan
para dewa itu gagal. Raja Kanthong Bolong tidak mati dan malah mengamuk
menghajar semua dewa. Bahkan Bethara Guru sang penguasa Mayapada pun kalah.
Keadaan
Mayapada seolah semakin semrawut, padahal pondasi kenegaraannya sebenarnya semakin
mantab, namun hal ini tidak dikehendaki oleh Bethara Guru. Maka dia kemudian
mengutus Semar Bodronoyo untuk turun
tangan mengendalikan situasi. "Ngger,
Petruk anakku!" Semar berujar pelan, suaranya serak dan berat seperti
biasanya. "Jangan kau kira aku tidak
mengenalimu, Ngger!"
"Apa yang sudah kau lakukan, tho
le? Apa yang kau inginkan? Apakah kamu merasa hina menjadi kawulo alit? Apakah
kamu merasa lebih mulia bila menjadi raja? Sadarlah Ngger, jadilah dirimu
sendiri."
Prabu
Kanthong Bolong yang gagah dan tampan, berubah seketika menjadi Petruk.
Berlutut di hadapan Semar. Lalu kisah Petruk Jadi Ratu pun berakhir.
Petruk
tersenyum mengingat peristiwa itu. "Ah,
hanya Hyang Widi yang tahu apa isi hatiku”
Dalang
asal Solo ini sangat piawai dalam memainkan para wayang. Boneka pipih
berbahankan kulit sapi tersebut menjadi seolah bernyawa. Aku agak tergelitik
mengikuti kisah Petruk Dadi Ratu ini, karena seolah sedang menyindir kondisi
politik negeri ini. Nyatanya presiden yang sekarang berkuasa memang berasal
dari punokawan alias rakyat kecil. Namun ketika sudah bertitah sebagai
penguasa, dia mampu bertindak tegas. Semua dunia mafia KKN bahkan kartel minyak
yang puluhan tahun menggerogoti negara kita ini pun mampu dihancurkan dengan
tegas. Tak heran jika banyak 'dewa' yang kebakaran jenggot dan kemudian
bersekongkol ingin melengserkannya. Luar biasanya, semakin dihajar, dihujat dan
dihina, kondisi Prabu Kanthong Bolong versi Indonesia ini malah semakin
menguat. Bahkan sebuah media online internasional, Gzeromedia.com, menobatkanya sebagai pemimpin paling populer
di dunia.
Dalam
penobatan Gzeromedia.com itu, pemimpin kita memperoleh peringkat
pertama pemimpin paling populer dunia dengan perolehan skor sebesar 71 persen,
mengalahkan pemimpin Amerika dan Eropa.
Namun
bukan itu yang membuatku berdegup panas
dingin. Menahan dinginnya suhu ruang pertunjukan tersebut dan memendam panasnya
api yang kembali membara di dalam dada. Apa pasal? Di tengah pertunjukan, Ki
Dalang mengundang seorang pesinden bintang tamu. Konon kabarnya, sinden ini
dulunya adalah seorang lady rocker.
Dan benar saja lengkingan suaranya sangat khas seorang lady rocker. Dan suara yang
sedang menyanyikan langgam pangkur di belakang Ki Dalang tersebut tetiba saja
menarikku ke masa lalu ketika aku baru saja menginjak di semester dua Fakultas
Sastra UGM.
Masih
sangat jelas di ingatanku, malam itu melalui sebuah telepon umum di seberang
tempat kostku, aku menelepon sebuah radio swasta di mana malam itu sedang
berlangsung lomba menyanyi minus
one. Karaoke kalau zaman now. Aku mendengar suara salah satu kontestan cewek sedang
membawakan lagu She's Gone dari grup
band asal Amerika, Steel Heart.
In my life
There's just an empty space
All my dreams are lost
I'm wasting away
Forgive me, girl
Lady, won't you save me?
My heart belongs to you
Lady, can you forgive me?
For all I've done to you
Lady, oh, lady
Dua
bait tengah ini begitu mengiris piluku. Seolah memahami betapa hampa hatiku
selama ini. Membayangkan sang kontestan minus
one malam itu yang memang akhirnya hilang, lenyap bak ditelan bumi.
Meski
jauh berbeda genre dan masa, dulu hardrock, dan sekarang pangkur. Namun
aku serasa mengenali warna suara penyanyinya.
Pangkur
berasal dari kata ‘mungkur’ yang memiliki arti pergi atau meninggalkan. Tembang
Pangkur memiliki filosofi yang menggambarkan kehidupan yang seharusnya dapat
menjauhi berbagai hawa nafsu dan angkara murka.
Mingkar-mingkuring
ukara
(Membolak-balikkan
kata)
Akarana
karenan mardi siwi
(Karena hendak
mendidik anak)
Sinawung
resmining kidung
(Tersirat dalam
indahnya tembang)
Sinuba
sinukarta
(Dihias penuh
warna )
Mrih
kretarta pakartining ilmu luhung
(Agar menjiwai
hakekat ilmu luhur)
Kang
tumrap ing tanah Jawa
(Yang ada di tanah
Jawa/nusantara)
Agama
ageming aji.
(Agama “pakaian”
diri)
Entah
disengaja atau tidak, skenario Sang Maha Kuasa memang tak pernah bisa diduga.
Lagu She's Gone dan Pangkur sama-sama
beraroma perpisahan. Dan lengkingan suara pesinden pangkur tadi match, terasosiasi sempurna tanpa
distorsi sedikitpun dengan pelantun lagu She's
Gone, 20 tahun silam.
Tak
terasa tangan kiriku mencengkeram pergelangan tangan Ahmad, sampai dia menjerit
tertahan. "Apaan sih Marno!"
"Mad, sinden itu. Sssinden itu.
Ssuaranya kok mirip sekali..."
"Mirip siapa?"
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, dia sudah memotong perkataanku. "Mmirip Eni. Penampilannya juga. Meski
telah hilang selama 20 tahun, wajah dan posturnya tak mungkin hilang dari
benakku, karena aku selalu memeliharanya setiap hari! Mad, bangunkan aku. Jangan-jangan aku sedang bermimpi. Tampar wajahku. Cubit lenganku ini agar aku tahu ini mimpi
atau nyata!" Tergeragap aku menyemburkan kalimat antara senang, galau
dan bingung.
"Plak!"
"Aduh, sakit tahu! Kok kamu
menampar wajahku," kataku sambil mengusap pipiku
"Lah, khan kamu yang
minta!" Ahmad membela diri sambil tertawa.
"Ya tapi jangan sekeras ini juga
kali," kataku memprotes.
"Kalau pipimu terasa sakit, itu artinya kamu
tidak sedang bermimpi Marno. Sinden itu tidak mirip Eni, dia memang Eni. Cewek yang
kamu cari selama ini," kata Ahmad menjelaskan
"Apa Mad. Sinden itu benar Eni?" kataku sambil berusaha untuk kabur mendekatinya. "Eits, sabar dulu Bro. Tahan diri dulu sampai pagelaran ini usai.
Nanti aku temani kamu menjumpainya," sergah Ahmad sambil mencekal
lenganku erat.
Setelah
itu konsentrasiku terhadap sisa pagelaran wayang kulit tersebut sirna sudah.
Lenyap seperti kemarau setahun dibilas hujan sehari. Pikiranku melayang ke masa
20 tahun yang lalu. Saat itu aku sedang berjuang untuk masuk Universitas Gadjah
Mada, maka seperti beberapa lulusan SMA lain, aku menimba lagi tips n trick agar lolos UMPTN (Ujian
Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dengan mengambil kursus singkat di sebuah
bimbingan belajar yang sedang menjamur di kota pelajar itu. Di sanalah aku
bertemu Eni. Awalnya aku tidak terlalu memperhatikannya, karena konsentrasiku
saat itu memang hanya pada cara singkat mengerjakan soal UMPTN agar diterima di
UGM. Itu saja. No women. No dugem.
Namun
entah kenapa beberapa kali dia justru terkesan mendekatiku. Beberapa kali dia
minta diantar ke Senopati untuk membeli buku. Atau ke perpustakaan wilayah
untuk meminjam buku literatur. "Sama
Ijal saja yang punya motor. Aku sedang sibuk!" Begitu alasanku
menolaknya. Sekali, dua kali aku tolak, namun dia tetap keukeuh dengan
pendiriannya. "Sok amat sih. Aku mau
kamu yang antar kok. Naik Aspada juga boleh kok," rajuknya manja.
Aku
meliriknya sekilas. Sebenarnya cantik juga cewek ini. Rambutnya hitam legam, tebal
sepunggung, kedua matanya disaput maskara agak tebal menimbulkan kesan mistis,
dan bibirnya merah merekah seperti buah delima meski tanpa sapuan lipstik. Aku
sebenarnya menolaknya karena dua alasan. Pertama, aku tahu sahabat SMA-ku Ijal,
yang mengajakku masuk bimbel ini, menyukainya. Kedua aku minder karena tidak
memiliki motor. Dengan alasan itulah aku menyuruhnya diantar Ijal.
Begitu
dia bilang naik Aspada (biskota) juga boleh, maka pertahananku runtuh.
Hari-hariku di bimbel tersebut menjadi lebih berwarna. Hari ini aku bisa
mengantarnya ke Senopati. Besok kami sudah janjian jalan bareng sepulang bimbel untuk
sekedar cuci mata ke Ramai Mall di
bilangan Malioboro. Besoknya lagi kami menghadiri undangan perpisahan SMA-ku. Kebetulan
tempat kost kami juga berdekatan, sehingga bisa saja kami sengaja berangkat dan
pulang bersama. Terkadang naik aspada. Atau pernah kami nekat jalan kaki
berdua. Bergandengan tangan. Ah,
indahnya dunia ini ketika sepasang kekasih sedang dimabuk asmara. Kekasih?
Sebentar, tunggu dulu! Kapan aku menyatakan cintaku kepadanya ya? Ah, masa bodoh, yang penting setiap hari
dia selalu ada di sisiku. Ternyata inilah awal musibah itu.
Rupanya
benar kata pepatah, bahwa tidak ada yang tetap di dunia ini. Dan perubahan mulai
aku rasakan ketika pada akhirnya aku berhasil masuk UGM sementara Eni tidak.
Pelbagai alasan dia utarakan agar aku tidak menemuinya lagi. Yang usiaku lebih
muda. Yang di UGM pasti banyak cewek cantik yang lebih cocok denganku. Yang
zodiak kami tidak sesuai. Aku bingung saat itu. Apa salahku. Sampai kemudian
dia pindah kost tanpa memberikan alamat barunya. Dia hanya meninggalkan pesan
untuk menelepon radio swasta pada saat lomba minus one tadi. Dan itulah terakhir kali aku mendengar suara Eni.
Selepas
kuliah aku mencoba peruntungan di ibu kota. Berbeda dengan kisah asmaraku,
dalam hal rejeki rupanya Dewi Fortuna kerap mengikutiku. Aku diterima di sebuah
perusahaan farmasi dan hanya dalam kurun waktu 2 tahun aku sudah berhasil
menjadi Supervisor. Dalam waktu 5 tahun aku sudah menjadi Department Head. Dan lima tahun setelah itu aku memegang posisi Sales Director sampai
sekarang. Sebuah prestasi fantastis yang membuat banyak rekan kerjaku iri.
"Woi, melamunkan apa Marno?
Pagelaran sudah kelar tuh. Katanya mau ketemu sindennya. Ahmad
mengibaskan tangannya di depan mataku yang kosong.
Aku
mengekor saja langkah Ahmad menuju stage,
seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Getar dan debaran jantungku semakin tak
karuan. Selama ini aku menyibukkan diri dalam karirku karena memang aku
berusaha melupakan cinta pertamaku tadi. Banyak rekan dan kolega yang
menawarkan saudara atau temannya kepadaku, namun selalu aku tolak dengan halus.
Bahkan akhirnya banyak pula yang menganggap aku tidak normal. Usia sudah kepala
4, karir menjulang, namun belum juga memikirkan pasangan hidup. Sebenarnya
bukan aku tidak memikirkan. Selain aku masih mengharapkan Eni, aku juga masih
merasa takut jika ditinggal pergi lagi tanpa penjelasan seperti peristiwa 20
tahun silam. Menurut Psikolog yang pernah aku temui, aku mengalami fenomena unresolved past experience, atau unfinished business. Hanya kepada
Ahmad aku bisa berterus terang mengenai kerinduanku kepada cinta pertamaku ini.
Dan rupanya inilah kejutan yang dipersembahkan Ahmad kepadaku hari ini.
"Halo Marno, apa kabar. Menurut
cerita Ahmad, kamu masih melajang sampai sekarang ya. Kenapa?" Tanpa perasaan bersalah sedikit pun Eni menyapaku. Dan aku bingung mesti
menjawab apa.
Wajah
cantiknya masih sama seperti 20 tahun yang lalu. Saputan maskara di kedua
matanya, bibir merah tanpa lipstiknya. Hanya kini aku tidak bisa mengira-ira
sepanjang apa rambutnya, karena sudah dihiasi dengan pasmina panjang warna
pastel. Makhluk cantik ini seperti tidak mengalami aging process sedikit pun. Begitu pula renyah tertawanya menyaksikan
diriku yang bengong di hadapannya. "En,
ini benar kamu?" tanyaku bodoh sekali. "Mau aku bantu menyadarkan lagi Marno?" tanya Ahmad
sambil mengangkat telapak tangan kanannya. "Sudah
Ahmad, jangan menggodanya. Marno masih mengalami jetlag. Pasti dia baru saja
mengalami time distortion dari masa silam." Justru kalimat Eni
ini yang sangat menggodaku. Aku diam seribu bahasa. Namun hatiku berdentam
berirama. Seperti alunan tabla dari Brasilia. Para cacing di dalam perut pun
ikut bergembira. Tapi tunggu dulu, pasti dia sudah ada yang punya. Tak mungkin
makhluk paling cantik di muka bumi ini tak ada yang memiliki.
Menyadari
hal ini, tanpa terasa, aku beringsut surut ke belakang. Rupanya Ahmad membaca involuntary signal (bahasa bawah sadar)-ku
ini. Sejurus kemudian, dia menenangkanku, "Don't worry Marno. She is engaged, but available"
Aku
bingung, bagaimana bisa terikat, tapi bebas? "Iya Marno, Ahmad benar. Aku memang bukan milik siapa-siapa
kecuali anak-anakku." Giliran Eni yang menjelaskan.
Ternyata
pada pertemuan pertama mereka, Ahmad dan Eni telah saling bercerita mengenai
nasibku yang tetap melajang sampai sekarang, dan kisah keluarga Eni yang kandas
di tengah jalan. Ahmad telah menceritakan kerinduan-kerinduanku hanya kepada Eni,
dan Eni juga telah menceritakan bahwa selepas kuliah hukum di UII, Eni menikah
dengan kakak tingkatnya dan hijrah ke Solo. Suaminya adalah seorang pengusaha,
trainer, dan ustadz berskala nasional. Mereka dikarunia 5 orang anak. Anak
pertama mereka terlahir kembar, namun hanya satu yang bertahan hidup,
perempuan. Berselang dua tahun kemudian lahirlah anak ketiga, perempuan lagi.
Anak keempat, laki-laki. Dan anak terakhir perempuan. Sebenarnya kehidupan
mereka sudah bahagia, jika saja sang suami tidak menganut paham nikah hakikat.
Mengikuti jejak tuan gurunya dari Langkat, dia dibolehkan menikah hanya berdua
saja dengan langsung disaksikan oleh Tuhan. Ketika anak ke-empat lahir, Eni
sudah menangkap basah perilaku suaminya ini. Dia menikah hakikat dengan
perempuan Binjai. Dan saat itu sang suami berjanji untuk meninggalkan istri
hakikatnya, dan kembali kepada Eni.
Namun
yang namanya tabiat, akan susah dihapus karena sebenarnya perilaku tak setia
ini sudah Eni alami semenjak mereka pacaran di Yogyakarta dulu. Ketika anak
terakhir berusia 6 bulan, Eni memergoki lagi kalau suaminya menikah hakikat
lagi. Keterlaluannya adalah dia menikahi asistennya sendiri yang tinggal
serumah dengan mereka. Bahkan kabar terakhir yang Eni dengar, suaminya juga
menikahi anak didiknya yang masih duduk di bangku SMA. Lebih parahnya lagi,
muridnya ini merupakan kawan anak ketiganya. Maka Eni mengambil langkah tegas.
Dia mengajukan gugatan ke pengadilan, tanpa bisa dinego lagi. Langkah ini
bukannya tanpa hambatan mengingat tabiat suaminya yang sangat temperamen.
Ketika
mengetahui Eni melayangkan gugatan ke pengadilan agama, suaminya langsung
bertindak anarkis dan menghajar Eni tanpa ampun. Membawa luka hati dan fisik
yang sudah tak tertahankan, Eni bahkan sempat melarikan diri membawa si kecil
yang masih berusia 6 bulan dan bersembunyi di sebuah shelter di bawah naungan LBH
APIK. Setelah bersidang selama hampir 2 tahun, akhirnya gugatan Eni dikabulkan.
Sekarang
Eni masih tinggal di Solo bersama ke empat anaknya. Untuk menyambung hidup, Eni
masih menekuni hobi tarik suaranya dengan menjadi penyanyi Cafe Tempo Dulu, dan
sesekali menjadi bintang tamu di paguyuban wayang Aji Pamungkas.
Antara
sedih dan gembira aku mendengar kisah perjalanan hidup Eni. Coba dia tidak
meninggalkan aku, pastinya dia sudah menjadi permaisuri di kerajaan yang sudah
aku bangun ini. Namun aku tetap bersyukur karena masih dipertemukan dengan
cinta pertamaku ini, meski di usia yang sudah tidak muda lagi. "Bagaimana Marno. Eni sudah punya 4
buntut, apa kamu masih tetap mencintainya?" Tiba-tiba saja Ahmad
menohokku dengan pertanyaan tanpa tedeng aling-aling lagi. Dengan mantab aku
menjawab, "Dia yang dulu ninggalin
aku Mad. Kalau hatiku tak pernah bergeser, meski hanya se-inchi juga. Dia yang
dari dulu enggak pernah mau memanggilku dengan sebutan Mas. Bener khan Dik Eni?" jawabku setengah menyindirnya dengan memanggilnya Dik.
"Maafkan aku Mas Marno. Aku
telah salah menakar besarnya cintamu padaku. Waktu itu aku masih terlalu muda
untuk berpikir matang. Sejujurnya aku meninggalkanmu karena mantan suamiku itu.
Sekarang aku menyesal. Masih maukah Mas menerimaku dengan kondisiku sekarang
ini?" Tak disangka-sangka sekarang Eni berkata
lembut dan memanggiku Mas dengan mata berkaca-kaca.
"Tentu saja Dik. Aku selalu
mencintaimu. Sampai kapan pun. Sampai nanti. Sampai mati. Kamu masih ingat khan
dengan puisi ini?"
Cium
Aku
gadisku
cium aku seperti tadi pagi
cium aku seperti kau tak pernah menjumpaku lagi
ruahkan rindumu lalui bibir persegi
gadisku
cintai aku seperti esok hari
tatkala mentari buncahkan sinar emasnya terabas pohon
kenari
lurus menghunjam bias pelangi yang sedang menari
gadisku
sayangi aku dengan segenap hati
perangi benci yang kerap berserak meniti
hambakan jiwa 'tuk sang pencinta sejati
gadisku
cium aku sampai mati!
Bogor,
awal Ramadhan 1442H
Seperti
diceritakan salah seorang sahabatku di awal tahun 2009
***
Komentar