MISTERI KARUNG BESAR
Akhir Februari 1995, bulan puasa sudah terlewati setengah perjalanannya. Kampus UNILA
(Universitas Lampung) tempat Adit menuntut ilmu komunikasi mulai lengang. Boulevard yang biasanya ramai dengan
lalu lalang mahasiswanya, kini sepi. Beberapa pohon akasia yang biasa digunakan
untuk berteduh, entah berdiskusi mengenai mata kuliah, atau sekedar bercanda
sesama kawan mahasiswa kini sendirian. Angkuh menghadapi tiupan sang bayu yang
senang menggelitik dedaunannya.
Suasana semacam
ini memang selalu berulang setiap tahun. Di pertengahan ramadhan, jadwal
perkuliahan semester tahun berjalan memang telah usai. Selain memberikan
kesempatan kepada umat Islam untuk menyongsong hari kemenangan, juga persiapan
guna menghadapi pergantian semester. Mahasiswa Universitas Lampung atau dikenal
juga sebagai Kampus Hijau sebagian besar berasal dari luar Bumi Ruwa Jurai,
sehingga menjelang libur panjang lebaran seperti ini, mereka pasti juga
terjebak dalam euforia mudik menuju
kampung masing-masing. Meski tak ada satu pun ajaran agama yang memerintahkan
umatnya untuk berjibaku menuju kampung halaman pada saat jalanan begitu
padatnya menjelang lebaran, namun rasa syahdu menikmati malam takbiran serta
kelezatan hidangan lebaran di kampung halaman, senantiasa menjadi candu
yang membuat para mudikers selalu
mengulang ritual tahunan mereka.
Adit yang
berasal dari Yogyakarta bersama Ari, sohibnya semenjak bangku SMA juga tak mau
kalah meramaikan ritual mudik menjelang Iedul Fitri 1415H kali ini. Mereka
telah memesan tiket bis ekonomi Giri Indah jurusan Tanjungkarang-Yogyakarta,
yang akan berangkat siang ini jam 13.30 WIB.
Dengan kondisi
keuangan orangtuanya yang hanya buruh tani, yang mengerjakan sawah
milik para juragan, maka Adit mesti puas menumpang bis ekonomi setiap kali
mudik atau kembali ke Tanjungkarang. Berbeda dengan Adit, keadaan Ari
sebenarnya lebih diuntungkan. Ayahnya merupakan orang penting di BUMN yang
begerak di bidang telekomunikasi. Biasanya kalau tidak menggunakan pesawat
udara, dia akan menumpang bis executive. Namun kali ini dia ingin merasakan
'nikmatnya' mudik menumpang bis ekonomi. Dan namanya saja bis ekonomi, maka
tumpangan Adit dan Ari siang itu tidak memberlakukan 'seat number' seperti layaknya pesawat udara atau bis executive.
Alhasil penumpang akan berebutan menaiki bis, begitu pintu depan dan belakang
dibuka oleh kondekturnya.
Ketika siang itu
Adit dan Ari sampai di pool bis Giri Indah yang terletak di bilangan Jl.
Sukarno Hatta, situasi sudah sangat 'crowded'.
Rupanya pintu bis baru saja dibuka. Para penumpang, tua-muda, laki-perempuan
tak mau kalah, saling sikut untuk menjadi yang pertama memasuki bis besar
berwarna merah itu.
Melihat situasi
seperti itu Adit teringat pada kuliah Psikologi dasar yang pernah diambilnya
yang mengulas tentang teori Psikonanalisis-nya Sigmund Freud. Bahwa dalam
sebuah crowd (kerumunan), semua orang
akan menjadi liar. Mereka akan saling sikat dan saling sikut, tanpa takut
terdeteksi siapa yang memulai kerusuhan tadi. Prinsip yang dianut adalah everybody will responsible. Pikiran
bawah sadar mereka tahu bahwa makna everybody
will responsible artinya adalah nobody
will do it. Kondektur sudah tidak mampu lagi mengatasi kekacauan siang
itu.
Mulut Ari
ternganga, setengah ngeri, melihat pemandangan yang baru pertama terjadi di
depan matanya tersebut. Ya, dalam kebiasaannya menaiki bis atau pesawat, semua
penumpang akan berbaris rapi menuju tempat duduknya masing-masing, sesuai
dengan nomor kursi yang tertera pada tiket mereka. Adit tersenyum menyadari
kengerian sahabatnya tadi. Seolah mampu membaca kekhawatiran sahabatnya, dia
mengambil ransel dari bahu sahabatnya tadi. "Tak
perlu cemas Kawan. Serahkan situasi ini padaku. Sini, mana ranselmu." Sejurus
kemudian Adit menuju bagian tengah bis sambil menyambar sebuah kursi kayu yang
tergeletak tak jauh dari badan bis tadi. Bertumpu pada kursi itu, Adit
menggeser kaca bis dari luar dan melemparkan ranselnya serta ransel Ari ke atas jok. "Aman..," gumam Adit dalam
hati. Setiap kali ada penumpang yang berusaha menempati jok berisi 2 penumpang
yang sudah ada 2 ransel di atasnya itu maka Adit akan meneriakinya, "Maaf kursi itu sudah ada yang
punya!"
***
Sambil memegangi
kursi kayu tadi, Ari mengakui kecerdikan Adit. Dia tersenyum simpul sambil
menghela nafas -bersyukur- karena tak
perlu berebut kursi dengan penumpang bis yang rerata adalah pedagang, terlihat
dari karung-karung besar yang mereka bawa. Senyum Ari pecah menjadi tawa ketika
melihat adegan lucu yang agak tragis. Dalam desakan penumpang yang berusaha
naik melalui pintu belakang, dia melihat seorang lelaki tua berusia 70-an
yang beberapa kali terpeleset dan jatuh. Beberapa kali dia mencoba naik, namun
selalu terpeleset. Apa pasal? Rupanya kakek tadi tidak mau melepas sebuah
karung besar yang menggelendot di pundaknya. Kedua tangannya memegang ujung
karung tadi, sehingga tidak ada yang tersisa untuk berpegangan pada handle pintu bis. Seorang perempuan
paruh baya yang menggendong bayi berusaha mendorong dari bawah kakek yang
ternyata ayahnya tersebut.
Penumpang lain
mulai protes karena mereka terhalang oleh kakek beserta karung besarnya tadi.
Akhirnya meski berhasil naik bis dan mendapatkan kursi agak di tengah namun
karena karungnya menghalangi jalan penumpang lain, maka oleh kondektur, kakek
tadi dipindahkan ke kursi paling belakang. Karena hanya di kursi itulah
tersedia ruang cukup lapang untuk meletakkan karung besarnya.
Ketika semua
kekacauan sudah mereda, barulah Adit dan Ari menaiki bis. Ibarat pemain ganda
putra yang baru saja memenangi All
England, dengan tenang dan penuh kepercayaan diri mereka menuju tempat
duduk mereka. Tersisa 2 kursi yang masih kosong karena telah bercokol ransel
sebagai wakil diri mereka, sementara semua kursi kiri dan kanan sudah penuh
sesak. Ketika melewati kakek dan karung besarnya, mereka sempat menduga-duga
apa kira-kira isinya sehingga seolah kakek tadi enggan berpisah dengan
karungnya.
Kini semua kursi
telah penuh terisi, namun bis belum beranjak juga. Arloji di tangan Ari sudah
menunjukkan pukul 14.30 WIB. Luar biasa, dibutuhkan waktu satu jam hanya untuk
memasuki bis dengan kapasitas 56 penumpang tadi. Tapi tunggu dulu! Tetiba saja
kondektur turun untuk kemudian naik lagi dengan membawa 4 bangku bakso. Bangku
kayu memanjang yang kemudian disisipkan di koridor bis antar kota antar propinsi
tadi. Di belakang kondektur tadi mengekor 16 penumpang tambahan yang akan
menempati 4 bangku bakso tersebut. Luar biasa, bis ini kini berisi 72
penumpang, plus seorang sopir, seorang kondektur dan seorang kernet!
Subhanallah, rupanya ini alasan bis belum berangkat
padahal semua kursi sudah penuh terisi. Adit dan Ari cuma bisa saling
berpandangan sambil berbisik, "Pantesan
banyak terjadi kecelakaan di negeri kita ini Dit, lha wong kaidah-kaidah
keselamatan tidak pernah diindahkan oleh pelaku transportasi seperti bis
ini" Adit yang sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini segera
menengadahkan kedua tangannya, mengajak Ari berdoa.
“Subhanalladzi sakh-khoro lanaa hadza wa maa kunna lahu muqrinin. Wa
inna ila robbina lamun-qolibuun. Allahumma innaa nas’aluka fii safarinaa
hadza al birro wat taqwa wa minal ‘amali ma tardho. Allahumma hawwin ‘alainaa
safaronaa hadza, wathwi ‘anna bu’dahu. Allahumma antash shoohibu fis safar, wal
kholiifatu fil ahli. Allahumma inni a’udzubika min wa’tsaa-is safari wa
ka-aabatil manzhori wa suu-il munqolabi fil maali wal ahli.”
(Mahasuci Allah
yang telah menundukkan untuk kami kendaraan ini, padahal kami sebelumnya tidak
mempunyai kemampuan untuk melakukannya, dan sesungguhnya hanya kepada Rabb kami,
kami akan kembali. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan,
taqwa dan amal yang Engkau ridhai dalam perjalanan kami ini. Ya Allah
mudahkanlah perjalanan kami ini, dekatkanlah bagi kami jarak yang jauh. Ya
Allah, Engkau adalah rekan dalam perjalanan dan pengganti di tengah keluarga.
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesukaran perjalanan,
tempat kembali yang menyedihkan, dan pemandangan yang buruk pada harta dan
keluarga)
***
Sesaat lagi bis
diberangkatkan. Kondektur melakukan cek tiket para penumpang, hanya memastikan
bahwa tidak ada penyelundup di bis tadi. Tetiba saja kakek karung besar tadi
melompat turun dengan tetap menggendong karung besarnya. Rupanya dia berlari
menuju toilet umum yang terletak tak jauh dari bis diparkir. Para penumpang
cuma bisa melongo memerhatikan sebuah karung besar merambat memasuki
toilet.
Bis berangkat
begitu kakek tua kembali menaiki bis, setelah dua kali lagi terpeleset! Untung
saja kondektur bersedia membantu menarik kakek tua tadi ke dalam bis. Namun
baru melaju beberapa kilometer, di seputaran pelabuhan Panjang, kakek tadi
berteriak kepada kondektur untuk mencari WC umum. Rupanya hajat alamnya kembali
berulah. Meski agak enggan, setelah berdiskusi dengan sopir, akhirnya bis
merapat ke sebuah pompa bensin. Dan para penumpang kembali melongo melihat
sebuah karung besar merambat memasuki WC umum.
Menuju pelabuhan
penyeberangan Bakauheni, bis beberapa kali berhenti di pom bensin demi
memfasilitasi hajat alam kakek karung besar. Maklum bis yang ditumpangi Adit
dan Ari tersebut tidak dilengkapi dengan fasilitas toilet, sehingga jika ada
kondisi darurat seperti yang dialami kakek karung besar tadi, semua penumpang
mesti ikut merasakan akibatnya.
Karena padatnya
jalanan dan antrean kendaraan di pelabuhan, menjelang isya, bis baru berhasil
masuk lambung kapal. Semua penumpang memilih untuk naik ke dek, kecuali kakek
karung besar. Dia lebih suka bergelung dengan karung besarnya di dalam bis,
meskipun hawa di lambung kapal lumayan menyengat.
Adit selalu
menikmati prosesi menyeberangi selat sunda ini. Dengan penuh minat dia
mengamati setiap kendaraan yang memasuki lambung kapal yang seolah ditelan ikan
paus itu. Ketika semua kendaraan telah berada di dalam kapal, maka jembatan
yang dilewati kendaraan tadi akan terangkat kemudian menjadi penutup lambung
kapal. Dia selalu takjub akan hukum alam yang sangat luar biasa ini. Bagaimana
sepotong jarum dengan berat hanya beberapa gram saja akan tenggelam ketika
dicemplungkan ke dalam air, namun kapal dengan bobot ribuan ton, belum lagi
ditambah dengan ratusan kendaraan, kok bisa tetap mengapung. Bukan sekedar
mengapung, bahkan mampu menghantarkan manusia dari satu pulau ke pulau lainnya.
Tentunya semua ini tak lepas dari jasa Archimedes,
yang penasaran kenapa air selalu meleber dari bath-up setiap kali dia berendam. Sampai kemudian dengan teriakan 'eureka' yang terkenal itu dia berhasil
merumuskan hukum archimedes.
Berlandaskan pada hukum inilah semua jenis kapal beroperasi. Mengapung dan
menjadi jembatan antar pulau.
***
Dini hari
menjelang subuh, bis telah berhasil menyeberangi selat sunda dengan selamat.
Dengan stabil bis meluncur di jalan tol Merak-Jakarta. Di tengah deru mesin
diesel menembus kota metropolitan, terdengar sungutan kesal kondektur bis yang
menolak mencari WC umum lagi. Rupanya perut kakek karung besar mengalami
kompresi tingkat tinggi lagi. Seperti halnya mesin diesel di mana pembakaran
terjadi pada kompresi tingkat tinggi yang menyebabkan bahan bakar mencapai
titik didihnya dan meledak... Dhuaaaarr!!
Kondektur
bersikeras untuk tetap melaju karena saat itu bis sedang berada di jalan bebas
hambatan. Selain rawan celaka, mereka juga terancam mendapatkan surat tilang
kalau berhenti di ruas tol tanpa adanya keadaan darurat. Wajah kakek tua sudah
berwarna pucat kemerahan menahan kompresi perutnya yang semakin tinggi.
Sebentar lagi 'bahan bakar' di dalam perut kakek karung besar akan mencapai
titik didihnya. Dan dhuuar!
Menyadari
situasi genting ini, Adit, Ari dan beberapa penumpang serentak meneriaki sopir,
"Pirrr, minggir Pirrr, cari WC umum.
Sebelum terjadi ledakan yang akan menebar bau yang tidak kita inginkan!"
Sopir pun mengalah pada suara aklamasi penumpang yang telah melebihi quorum
tersebut. Namun karena tidak melihat tanda-tanda keberadaan rest area di sepanjang ruas tol pagi
itu, sopir akhirnya menepikan bisnya di daerah yang penuh semak belukar. Dengan
sigap kakek karung besar melompat dan menyelinap di sela gerumbulan pohon
lamtoro. Para penumpang melongo melihat sebuah karung besar lenyap ditelan
semak belukar.
Begitu kakek
karung besar telah duduk di kursinya, maka sopir bis segera memacu bisnya
menuju Jakarta. Selain mengejar waktu yang banyak terbuang karena terlalu
sering berhenti, dia juga tak mau kepergok Polisi Patroli Jalan Raya karena
telah berhenti di ruas tol. Para penumpang kembali terbuai dalam lamunan mereka
masing-masing. Tentang serunya bertemu dengan keluarga serta handai tolan di
kampung. Ramainya malam takbiran keliling kampung. Menikmati aneka ragam
hidangan lebaran yang hanya setahun sekali bisa ditemui.
Adit masih ingat
pesan bapaknya tentang bagaimana memaknai momen Iedul Fitri. Sebagai Muslim
yang besar di Jawa, bapak Adit menyebutnya sebagai lebaran. Dan dalam lebaran ini ada makna lain, yaitu leburan, luberan dan laburan. Lebaran mempunyai arti
lepas, bebas, sudah, selesai atau habis. Leburan berarti luluh, lebur, atau
diampuni (berkaitan dengan salah dan dosa), luberan berarti luapan (meluap),
dan laburan berarti melapisi dengan kapur (dinding rumah pada masa lalu
biasanya dilabur, dicat dengan kapur putih).
Lebaran dimaknai
sebagai selesai atau sudah, yaitu sudah dan selesai menggembleng diri dan
mengendalikan diri melalui puasa. Dan pada momen Iedul Fitri, umat Muslim juga
melakukan luberan, meluapkan rezeki dengan membagikan zakat bagi warga
masyarakat yang kekurangan. Idul Fitri dirayakan dengan semangat berbagi, sharing dalam kehidupan.
Sedangkan
leburan bermakna meluluhkan segala kesalahan dengan saling memaafkan dan
membangun silaturahmi baru yang lebih baik dengan sesama ciptaan Allah. Leburan
melengkapi proses pengendalian diri melalui puasa untuk kembali pada
fitrah manusia dengan cara saling memaafkan atas kesalahan.
Sedangkan
laburan dimaknai sebagai membangun lembaran baru yang lebih bersih dan lebih
'putih'. Setelah berpuasa selama tiga puluh hari dengan mencapai pengendalian
diri, kehidupan berikutnya menjadi lebih baru, termasuk dalam relasi dan
silaturahmi dengan sesama manusia.
***
Dalam keheningan
yang riuh rendah di kepala masing-masing penumpang pagi itu, tetiba saja
terdengar isak tangis perempuan paruh baya anak kakek karung besar. Sontak para
penumpang tersadar dari petualangan bawah sadar mereka dan mencari sumber
isakan tadi. "Ada apa Bu?" penumpang yang duduk di samping perempuan tadi mencari tahu. "Huhuhuhu Baapaaak!" perempuan tadi menjawab lirih sambil masik terus terisak. Para penumpang
berbisik-bisik berspekulasi, jangan-jangan terjadi apa-apa pada bapaknya.
Jangan-jangan kakek karung besar meninggal karena dehidrasi. Beberapa penumpang
bahkan sudah mengucap kalimah istirja.
Innallillahi wa innailaihi rajiuun.
“Iya, bapaknya kenapa?“ sambung
penumpang tadi ikut cemas. “Bapak khan
men... mencret,“ jawab perempuan paruh baya tadi terbata-bata. “Iya, kami tahu, bapak situ mencret, wong
kami juga ikut terkena imbasnya kok,“ kata penumpang tadi mulai tidak
sabar, “Tapi kenapa pagi-pagi begini situ
sudah nangis?“
“Tadi waktu bapak buang air di semak-semak, karena terlambat membuka
celana, ternyata celana kolornya terkena kotorannya. Terus...., terus, kolor
itu dibuang,“ masih dengan terbata-bata perempuan
paruh baya tadi berusaha menceritakan ‘musibah‘ yang menimpa bapaknya. Dengan
menahan tawa, penumpang tadi mencoba menghibur, “Halah, cuma celana kolor kok ditangisi. Nanti beli lagi khan gampang!
Sudah, jangan nangis lagi. Yang penting bapak situ enggak kenapa-napa to?“
“Bbu..bukan gitu Oom, mma.. masalahnya duit bapak saya duaratus ribu
dijahit di kolor itu. Tadinya dia pikir disembunyikan di karungnya. Ternyata
Bapak lupa kalau duit itu dijahit di saku kolornya, huaaaa huaaa,” meledaklah tangis ibu tadi meratapi kehilangan uang duaratus ribunya
*).
Tanpa dikomando
lagi di pagi yang hening itu terjadi koor tawa yang heboh. "Hahahahahaha...! Wkwkwkwkwk...! Xixixixixi...! Dhuar...!"
Menyadari ceritanya ditanggapi dengan tawa bersama, tangis perempuan paruh baya
tadi makin menjadi, "Huaaa huaaa...!
Huuuu huuu...! Hiiiii hiiii...!" Sementara di kursi belakang bis,
kakek tua sudah melepaskan karung besarnya. Menyesal dia mati-matian menjaga
karung besar itu, karena ternyata harta karunnya berada di saku celana kolor
yang telah dia campakkan di dalam semak belukar.
Tak tega Adit
menyaksikan situasi yang kelucuan dan ketragisannya melebihi skenario sinetron
yang sedang marak lintang pukang memenuhi layar kaca kita. Sebagai mahasiswa
yang daya kritisnya senantiasa diasah di dalam maupun luar civitas akademika,
nurani Adit tergerak untuk membantu keluarga malang tersebut. Bergegas
ditariknya tangan Ari untuk melakukan sebuah aksi heroik. Dilepas topinya dan
diberikan kepada Ari untuk dijadikan keropak sumbangan. Kemudian Adit melakukan
sedikit orasi, "Bapak-bapak,
Ibu-ibu, Mas dan Mbak yang budiman, seperti kita saksikan bersama di hadapan
kita ada satu keluarga yang sedang dilanda kemalangan. Betapa sangat jahatnya
kita jika tidak mendengar rintihan kesengsaraan keluarga ini yang
berlarut-larut dalam waktu yang mungkin tidak dapat dihitung dengan angka. Uang
duaratus ribu yang mereka kumpulkan selama beberapa bulan raib hanya dalam
kejapan mata. Adam Smith pernah berkata Homo homini socius yang artinya manusia
adalah rekan atau teman bagi sesamanya di dunia sosialitas ini. Inti dari
pikiran ini adalah bahwa manusia akan butuh orang lain dalam hidupnya untuk
berinteraksi. Nah, kali ini keluarga ini merupakan pihak yang sedang membutuhkan
bantuan kita. Maka sebagai mahluk sosial, saya mengajak Bapak, Ibu, Mas dan
Mbak untuk menyumbang uang seikhlasnya guna mengganti tabungan mereka yang
telah hilang tadi. Silakan masukkan bantuan Bapak, Ibu, Mas dan Mbak ke dalam
topi yang akan diedarkan kawan saya ini"
Entah karena
orasi Adit, atau karena masih berada di bulan ramadhan, dalam waktu singkat
terjadi luberan uang 'urunan' sebesar
Rp 190.000, yang kemudian digenapkan oleh pak sopir menjadi Rp 200.000.
Mewakili seluruh penumpang bis Giri Indah, pagi itu Adit menyerahkan dana
urunan kepada perempuan paruh baya itu, "Ibu,
silakan diterima uang tanda simpati kami semua ini dengan baik. Semoga
bermanfaat"
"Matur sembah nuwun Nak" dari kursi belakang terdengar kakek tua itu menjawab. "Terimakasih penumpang sekalian. Terimakasih mas kondektur.
Terimakasih pak sopir. Mohon dicarikan WC umum lagi. Dorongan ini sudah tak
sanggup kakek tahankan lagi!"
Saat itu bis
sudah sampai di Jakarta. Sopir mengarahkan bis memasuki rest area. Dengan sigap kakek tua tadi
berlari menuju WC umum. Para penumpang menahan senyum kecut melihat sepotong
tubuh kurus ditelan pintu WC umum. Mereka tidak berani berspekulasi bakal
berapa kali lagi berhenti sebelum sampai di kota tujuan yaitu Yogyakarta.
Tanjungkarang,
21 Juni 2018
***
Catatan:
·
*)Duapuluh tiga tahun lalu dengan uang
duaratus ribu, kita bisa membeli emas seberat sekitar 7 gram. Dengan harga
rata-rata emas sekarang sekitar 700 ribuan, maka uang ibu itu berarti setara
dengan 4,9 juta. Sebuah angka yang lumayan besar bagi mereka.
·
Urunan: iuran
·
Matur sembah nuwun: Terimakasih banyak
***
Komentar