Kutemukan Lailatul Qadr di Way Nipah
Setelah menempuh perjalanan panjang
selama nyaris 24 jam, akhirnya sampai juga Kau pada desa tujuanmu, Way Nipah.
Meski temaram sinar jingga sudah mulai memenuhi langit barat, namun Kau masih
mampu menikmati pemandangan yang tak jauh berubah dibanding beberapa puluh
tahun lalu ketika terakhir Kau berkunjung ke desa ini. Pohon-pohon kelapa
berbaris rapi di sepanjang pinggir aspal seolah menjadi pembatas wilayah darat
dan lautan. Dedaunannya bergoyang ritmis mengikuti hembusan angin malam, ibarat
penari perut yang menggoda para penontonnya. Beragam kapal kecil nelayan terparkir
tak beraturan di sungai kecil muara. Rumah-rumah penduduk beratapkan seng juga
dibangun tanpa aturan, berserakan sepanjang pantai.
Bus engkel yang Kau tumpangi mesti
berhenti di ujung jalan itu, karena jalanan beraspal yang bisa dilalui mobil
memang benar-benar berakhir di tempat tersebut. Jalanan selanjutnya menuju
daerah sekitar hanya berupa jalan tanah berpasir yang cuma cukup untuk
kendaraan beroda dua.
Agak aneh memang menyaksikan ujung
dari sebuah jalan. Kau merasa seolah sedang berada di ujung dunia. Secara
ironis situasi ini terasa menyindir dirimu. Bisikan halus namun tajam berujar
di antara dua telingamu, "Habislah Kau. Inilah akhir dari perjalananmu!"
Tergeragap, kaget pada ilusimu sendiri
menyerapmu pada kisah panjang beberapa tahun belakangan ini.
Dimulai dari pengembaraanmu ke ibu
kota yang menghantarkan pada sebuah kedudukan strategis di badan pemilihan umum
nasional. Setelah magang selama beberapa bulan, Dewi Fortuna berpihak kepada dirimu, karena entah karena satu
alasan apa, bakal calon ketua umumnya tetiba saja dirundung petaka dan masuk
penjara. Maka selaku sekretaris jendral, dirimulah yang kemudian berpeluang
menduduki posisi ketua tersebut.
Hal ini nyaris sama dengan peristiwa
beberapa waktu silam ketika dirimu terpilih menjadi ketua umum sebuah
organisasi mahasiswa, padahal kau sadar bahwa dirimu belum layak karena belum
mengikuti LK IV (Latihan Kepemimpinan). Dewi
Fortuna jualah yang memaksa nasibmu untuk berkuasa waktu itu.
Dan kemudian Dewi Fortuna kembali memainkan peran ketika dirimu terpilih secara
aklamasi untuk memimpin sebuah partai politik di mana dewan pelindungnya tengah
menjadi kepala negara.
Wow, sebuah pencapaian karir
yang luar biasa pesat. Ibarat meteor yang melesat ke bumi tanpa mampu dibendung
atmosfer lagi.
Dan masih tergambar jelas di
pelupuk matamu, bahwa semua pencapaian tadi telah mengorbankan nuranimu yang
paling dalam. Menggerus lantak semua petatah petitih orangtua ketika dirimu
masih kecil dulu. Haq atau bathil sudah bukan pedulimu lagi, yang penting
tujuan dunia tercapai.
Kau tahu alkohol itu haram, namun
kalau proses meluluskan sebuah tujuan membutuhkan alkohol, maka semua alkohol
itu menjadi harum saja adanya. Kau sadar bahwa membunuh itu sangat keji, namun
ketika ada lawan politik yang selalu menggelitik, tanpa segan kau akan
melumatnya menjadi sebuah titik.
Tanpa mampu kau kendalikan lagi,
semua jenis tipu daya, telikung menelikung kawan serta lawan telah kau
praktekkan. Tak kau sadari bahwa bumi ini terus berputar. Bahwa hukum
tebar-tuai tetaplah berpendar. Dan kini karma pun tak mampu Kau elak lagi.
Usai azan maghrib sore kemarin, Kau mengendus kabar bahwasanya kasus mega korupsi pembangunan wahana olah raga
di bilangan Jawa Barat telah terbongkar. KPK telah menangkap beberapa pejabat
berwenang, termasuk bendahara partai yang kau pimpin. Kau sadar, sangat sadar
bahkan, jika sebentar lagi adalah giliranmu untuk digelandang menjadi pesakitan
kasus mega korupsi ini.
Maka Kau bergegas, hanya membawa
satu tas ransel saja yang berisi beberapa dokumen penting serta beberapa lembar
pakaian, menuju terminal antar kota. Kau yakin bahwa di semua bandara serta pusat
transportasi utama pasti telah berpencar petugas gabungan yang akan dengan
sigap mengamankanmu, maka melarikan diri dengan bergerilya adalah satu-satunya
pilihan yang tersisa.
Kau naik bus menuju terminal
penyeberangan Merak, untuk kemudian menyeberang naik kapal RORO, bejubelan
dengan ribuan orang yang mulai menyemut pulang kampung menjelang lebaran. Dari
pelabuhan Bakauheni, kau lanjut menumpang bus tigaperempat menuju terminal Raja
Basa, kemudian berganti dengan bus engkel, dan sampailah Kau di sini.
***
Kau mengenal daerah ini ketika
menjalani program Kuliah Kerja Nyata (KKN) beberapa puluh tahun yang lalu.
Terletak sekitar 150 km arah barat laut Bandar Lampung, Way Nipah merupakan
bagian kecamatan Pematang Sawa, Kabupaten Tanggamus. Awalnya Kau sempat heran
kenapa kecamatan itu bernama pematang sawa, karena kenyataannya hampir tidak Kau jumpai sawah di sana. Mungkin leluhur daerah ini dahulunya mendamba
bentangan sawah, sehingga melakukan afirmasi dengan nama kecamatan tadi.
Way Nipah merupakan desa terakhir
yang bisa ditempuh menggunakan mobil. Desa-desa lain di balik sebuah bukit yang
tinggi itu hanya bisa dilalui oleh sepeda motor. Setelah melewati beberapa
tanjakan maut dan jurang yang terjal terdapat perempatan dari jalan tanah merah
untuk menuju ke Tampang, Karang Brak dan Teluk Brak jika mengambil jalan lurus,
sedangkan jika berbelok ke kanan, maka Kau akan sampai ke desa Pesanguan dan
Way Asahan.
Hanya berselang 1 kilometer dari
perempatan tersebut terdapat daerah hutan lindung TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN
SELATAN, yang konon kabarnya merupakan sarang serta kuburan rahasia gajah
Lampung. Dengan sulitnya rute menuju ke wilayah ini, maka ini adalah sebuah
tempat bersembunyi yang ideal bagimu.
***
Sangat beruntung bagimu karena
selain tidak berubahnya lingkungan desa ini, demikian juga suasana kekeluargaan
warganya. Berbekal nama tetua desa tempat Kau mondok saat KKN dulu, Kau
diterima menjadi tamu kehormatan di rumah kepala dusun yang tinggal di seberang
surau. Paling tidak malam itu Kau bisa tidur dengan tenang, sebelum esok Kau
akan mulai menghilang ke tengah hutan lindung.
Tengah malam Kau terjaga dari tidur
pulasmu. Seolah ada yang membangunkan, kelopak matamu terbuka saja dengan
sendirinya. Badanmu terasa sangat segar. Belum pernah Kau merasa sesegar ini,
semenjak beberapa tahun belakangan ini. Kau lihat jarum pendek jam tanganmu
berada di angka 2. Itu artinya Kau tidur baru sejenak, namun mungkin inilah
kualitas tidur terbaik yang pernah Kau miliki. Tidur yang terbebas dari semua
antek politismu.
Sayup namun pasti telingamu
mendengar alunan merdu lantunan ayat suci Al Quran. Suaranya mirip biduanita
sebuah cafe yang sering Kau datangi, namun syahdunya mampu menghanyutkan melodi
kalbumu yang hampir membatu.
"Thaahaa.
Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi
susah. Melainkan sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah).
Diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi, (yaitu)
Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas 'Arsy. Milik-Nya-lah apa yang ada
di langit, apa yang di bumi, apa yang ada di antara keduanya[6] dan apa yang
ada di bawah tanah. Dan jika engkau mengeraskan ucapanmu, sungguh, Dia
mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. (Dialah) Allah, tidak ada tuhan
yang berhak disembah selain Dia, yang mempunyai nama-nama yang terbaik"
Entah mengapa gendang telingamu
serasa digedor oleh alunan merdu tersebut. Tulang belulangmu seperti remuk dan
dadamu terguncang. Tanpa terasa airmatamu mengalir deras laksana air bah Nabi
Nuh yang mampu meluluhlantakkan sesiapa saja yang mengingkari kebenaran Nya.
Meski setengah menebak, lamat-lamat
kau mengingat, itu adalah surat Thaha 1-8.
Kau jadi teringat guru ngajimu yang
bertutur tentang kisah Umar bin Khatab
Suatu hari Umar berada dalam api
kemarahan, ia membawa sebilah pedang untuk menumbangkan kepala Rasulullah,
tetapi di persimpangan jalan ia bertemu dengan Nua’im bin Abdillah yang
mengatakan, bahwa ia haruslah memenggal kepala adik perempuannya dahulu,
sebelum membunuh Nabi, karena adiknya telah memeluk Islam
Merasa keluarganya telah ternoda
dengan ajaran baru, Umar langsung pergi ke rumah adiknya itu dengan amarah
meluap dan mendapati adiknya sedang membaca Alquran.
Bertemu dengan sang adik, Umar
langsung memukulnya. Saat tetes darah mengucur deras dari kepala adiknya, ia merasa
bersalah dan meminta maaf. Untuk menebus kesalahan itu ia lalu meminta adiknya
membacakan apa itu Alquran di hadapannya.
Begitu dibacakan awal surat Thaha
tersebut, seluruh tubuhnya bergetar, tulang belulangnya seperti langsung remuk
dan tak berdaya. Pedangnya pun terjatuh ke tanah. Dadanya terguncang.
Umar tahu, bahwa kata-kata itu
bukanlah kata-kata biasa, keindahannya amat melampaui puisi mu’allaqat yang digantung di dinding
Kabah, atau puisi muhadzabat yang
ditulis dengan tinta emas di pintu gerbang kota.
Maka perangai Umar yang menyeramkan
sebelumnya tetiba saja berubah menjadi lemah lembut.
***
Masih dengan dada bergemuruh dan
menahan isakan, Kau keluar dari kamar pondokanmu dan mencari asal suara merdu
yang sangat tartil tadi.
Malam itu angin terasa sangat
tenang. Hawanya penuh kelembutan, cerah, tidak begitu panas, juga tidak begitu
dingin. Kau lihat bulan berukuran setengah nampan, tersembul malu di antara gumpalan
awan cirro cumulus. Laut seolah membeku sehingga tak terdengar sedikit pun suara
debur ombaknya.
Hatimu serasa diaduk-aduk, campur
baur antara syahdu, sedih, gemetar, juga gamang. Surat yang telah menghancurkan
kerasnya hati seorang preman di jaman Rasulullah itu kini tengah mengebor
dinding pertahanan ego duniamu. Satu sisi dirimu ingin segera menghilang menuju
hutan lindung, sementara sisi lainnya bersikukuh untuk meneruskan menikmati
lantunan kalam Ilahi tersebut.
Rupanya pertarungan bisu di dasar kalbumu
dimenangi oleh sisi kedua. Nyatanya kakimu terseret pelahan menuju surau, daun
telingamu bergerak-gerak menajamkan fungsi auditorinya demi menderes lantunan
merdu yang kian menghipnosis itu.
Kau lihat pintu surau terkuak
sedikit, mengirimkan sebuah bayangan hitam sedang duduk khusyuk dengan posisi
tahiyat. Tak sabar kau memasuki surau itu dan tercium aroma stroberi parfum aigner yang sangat kau kenal. Sesosok
wanita mengenakan gamis hitam dan pasmina hitam menengok ke arah pintu dan
mengucap salam, "Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh"
Kau sangat terkejut begitu
mengenali seraut wajah cantik dalam balutan busana hitam tadi. Saking
terkejutnya sampai lidahmu kelu dan tak sanggup membalas ucapan salamnya.
Ternyata dia memang biduanita cafe yang biasa kau datangi bersama kolega-kolega
politikmu. Perasaanmu bergeser menjadi cemas, takjub, bingung dan sedikit
menyisakan rasa syahdu itu.
"Sssiappa
sebenarnya Anda?" akhirnya tercetus juga tanya itu dari mulutmu. Wanita tadi beringsut dari duduk
tahiyatnya, beranjak menghampirimu, dan menjawab tanyamu, "Perkenalkan nama saya Lailatul Qadr Pak. Saya dari KPK dan
bertugas membawa Anda kembali ke Jakarta!"
Dengan sigap wanita tadi
mengeluarkan borgol dari balik gamis hitamnya, dan sebelum Kau sadar apa yang
sedang terjadi, di tanganmu sudah terpasang gelang pesakitan tersebut.
Tanjung Karang,
Ramadhan hari ke 27 1439 H
Komentar