Hibernasi


Tujuh belas tahun lalu, hanya berbekal niat dan segumpal dendam di dada Andre nekat meninggalkan studinya. Dia ingin bertualang, untuk membuktikan jati dirinya yang sebenarnya. 

Masih sangat terkenang di memorinya insiden kecil Sabtu malam belasan tahun silam itu. Insiden yang akhirnya membawa dirinya sampai ke negeri tetangga. Malam itu, seperti yang biasa dilakukan muda mudi yang sedang dimabuk asmara, Andre bertandang ke rumahmu. Kebetulan malam itu Andre berkesempatan untuk berkenalan dengan ayahmu, seorang guru yang sudah belasan tahun mengabdi di sebuah sekolah lanjutan atas favorit di kota itu. Begitu melihat Andre, kontan saja muka ayahmu menjadi masam. Seperti mangga Indramayu yang dipaksa dipanen sebelum waktunya. Kecut sekali. 

Tatapan matanya tajam menelanjangi sekujur tubuh Andre, dari ujung kepala sampai ke alas kaki. ”Hmm, maaf nak Andre, Bapak boleh jujur kan? Apa nak Andre yakin mampu membahagiakan Anggi?”, meski dengan suara lembut namun pertanyaan itu terdengar laksana bunyi ratusan mercon pada hari lebaran. Apa maksud bapak ini, hati Andre bertanya-tanya. Namun belum sempat Andre mengemukakan tanya tersebut, ayahmu melanjutkan, ”Bapak tidak ingin kehidupan Anggi susah seperti orang tuanya yang hanya guru ini. Itulah sebabnya Bapak minta Anggi untuk menimba ilmu setinggi mungkin. Bapak mohon tolong biarkan dia kuliah dulu, tanpa embel embel asmara dulu. Lagipula Bapak ragu apakah pemuda gondrong sepertimu bisa menjamin masa depannya?” Lembut, simpel namun menyakitkan. Malam itu, tanpa mampu berucap sepatah katapun Andre langsung berpamitan pulang.
***

Memang, meski baru tiga bulan berkenalan, namun hubungan kalian sudahlah sangat dekat. Kalian berkenalan dalam acara orientasi program studi dan pengenalan kampus. Meski berbeda fakultas, kau ambil hukum sementara Andre ambil seni lukis, kalian berada dalam satu kelompok. Sebenarnya yang memulai ketertarikan itu justrulah kau. Dalam perjalanan menuju kampus, di dalam bis kau melihat seorang pemuda dengan rambut tergerai sebahu. Terus terang kau penasaran dengan pemuda itu, karena meskipun panjang namun rambutnya tertata rapi. Berkilat bahkan. Kau terkejut setengah gembira ketika mengetahui bahwa pemuda itu turun di kampus yang sama denganmu. ”Oo, mahasiswa kampus ini juga ternyata”, pikirmu kala itu. Dan kegembiraan itu kian menjadi-jadi ketika dalam pengelompokan acara opspek, kau melihatnya berada satu ruang denganmu. Aha, Tuhan memang Maha Mengetahui hati umatNya, maka kaupun berkenalan dengannya.

Selepas opspek hubunganmu dengannya makin akrab. Entah perasaan apa yang menghinggapimu, namun kau merasa nyaman, feel convenient, ketika berada di dekatnya. Maka kaupun tak pernah mau jauh darinya. Acapkali kau minta dia untuk mengantarmu dalam pelbagai kesempatan. Entah membeli buku di pusat perbukuan di selatan kota, mencari kado untuk keponakan, atau sekedar untuk menemanimu makan di kantin kampus. Rupanya kau tak bertepuk sebelah tangan. Buktinya dia selalu mengiyakan permintaanmu. Dengan sabar dan lembut, sangat kontras dengan penampilannya, dia selalu menemanimu. Bahkan terkesan dia selalu ingin melindungimu. Ketika berjalan di trotoar misalnya, dia akan selalu mengambil sisi kanan. Apalagi bila sedang menyebrang jalan, oo ini yang paling kau suka, dia akan selalu menggandeng tanganmu. Dan setelah menoleh kiri kanan untuk memastikan tidak ada kendaraan yang lewat, baru tangannya dengan lembut menarik tanganmu. Mengajak untuk menyeberang. 

Alangkah mesranya. Satu hal lagi yang membuatmu merasa nyaman berada di dekatnya adalah kalian sangatlah kompak. Saling melengkapi. Andre sangat memahami dirimu. Dia akan selalu mengimbangi perilakumu. Kalau kau bertingkah ala bola tennis, maka Andre akan menjadi raketnya. Atau ketika kau ingin melayang di angkasa laksana layang-layang, kontan Andre akan menjadi benangnya, yang siap menarik atau mengulur tingginya terbangmu. Meskipun berambut gondrong dengan penampilan terkesan selengekan, tapi itulah yang sangat kau suka darinya. Hatinya sangat lembut. Penuh kasih sayang. Romantis. Hari harimu terasa semakin hidup sejak kehadiran Andre.
***

Namun sejak insiden sabtu malam itu kau tak pernah mendengar kabar Andre lagi. Rupanya dia merasa sangat tersakiti dengan pernyataan penuh keraguan dari ayahmu malam itu. Sedikit banyak kau telah memahami karakter Andre. Dia pemuda yang tak bisa diragukan. Makanya dia pergi ketika diragukan. Hanya sepucuk surat yang dia tinggalkan untukmu. Isinyapun singkat sekali.

“Sayangku, Aku akan buktikan siapa diriku sebenarnya!”
Dariku yang selalu menyayangimu. Andre

Hatimu hancur. Berbulan bulan kau coba mencari tahu keberadaannya, namun nihil. Salahmu waktu itu kau tak sempat minta alamat asalnya. Yang kau tahu hanyalah alamat kostnya, dan ternyata Andre sengaja merahasiakan kepergiannya sehingga tak satupun teman kostnya mengetahui kemana tepatnya Andre pergi. Kau makin terpuruk dalam kesedihanmu. Nelangsa. Namun kau harus melanjutkan hidup. Live must goes on. Apalagi tuntutan orang tuamu tak mungkin kau abaikan begitu saja. Kau ingin membuat mereka bangga dan bahagia. Maka kau tekadkan untuk menuntaskan studimu secepat kau mampu, dan segera mendapatkan pekerjaan yang layak seperti yang diharapkan orang tuamu. 

Dalam perjalanan menempuh cita-cita itu hatimu justru tertambat kepada kakak tingkat di fakultasmu. Orangnya cerdas, orator di kampus dan sangat perhatian kepadamu. Kalaupun ada kekurangannya mungkin hanya satu, dia terlalu keras dan disiplin. Untuk keluar makanpun takkan dibiarkannya kau mengenakan sandal. Harus berpakaian rapi dan bersepatu. Sangat jauh dari watakmu yang agak slengekan. Bayang bayang Andre mulai pudar. Memucat seperti tembok yang bertahun tak tersentuh kuas cat, tergantikan oleh aura sang kakak tingkat. Dia juga sangat pandai mengambil hati orangtuamu. Dengan kefasihannya dalam berdiplomasi, maka dalam waktu yang tak terlalu lama orangtuamu sudah memberikan kepercayaan besar kepadanya untuk menjagamu. Bahkan ketika dia telah meyelesaikan kuliahnya dan kemudian langsung membangun sebuah firma hukum, orangtuamu langsung menyarankan kalian untuk segera menikah. 

Meskipun studimu belum selesai waktu itu. Ayahmu sangat bangga kepadanya, pesan beliau, ”Ini baru calon suami yang mumpuni. Cerdas, kompeten dan bermasa depan cerah. Tidak seperti, siapa temanmu yang gondrong itu?” Kau merasa tak perlu menjawab tanya ayahmu itu. Namun aneh, sebersit kenangan indah tiba tiba menyeruak dalam kalbumu. Memori tentang Andre. Entah di mana dia berada sekarang.
***

Prediksi ayahmu tak melenceng jauh. Berkat kegigihan sang kakak tingkat, yang sekarang sudah menjadi suamimu, kehidupan kalian beringsut membaik. Firma itu pelan namun pasti mulai mendapatkan tempat di kalangan praktisi hukum negeri ini. Klien-klien mulai berdatangan, dari yang kelas teri yang hanya membantu menyelesaikan pertikaian suami istri. Hanya recehan. Sampai kelas kakap, membantu perusahaan property dalam membebaskan tanah untuk proyek apartemen bergengsi pun kalian menangkan. Miliaran.

Secara materi, kehidupan kalian sudah bisa dibilang lebih dari cukup. Sebuah rumah berlantai dua dengan taman yang asri lengkap dengan kolam ikan di sampingnya sudah kalian miliki. Pun dua buah mobil, meski tak mewah namun cukup menghindarkanmu dan keluarga dari panas dan hujan ketika ingin bepergian. Satu untuk beliau bekerja. Sementara satunya lagi untukmu, sekedar mengantar anak-anak ke sekolah atau shoping ke mal atau belanja ke pasar. 

Anakmu dua, si sulung, perempuan, sekarang duduk di kelas enam sekolah dasar. Dan si bungsu, laki-laki, baru saja masuk SD. Lucu-lucu dan sehat-sehat. Seharusnya kau mensyukuri semua anugrah dari yang Maha Kuasa ini. Satu hal yang seringkali mengganjal di hatimu adalah terlalu sibuknya beliau. 

Jadwal suamimu memang sangat padat. Dalam satu bulan keberadaanya di sampingmu bisa dihitung dengan jari. Sebenarnya hal ini merupakan berkah bagi keluargamu, karena itu berarti prospek firma kalian sangatlah bagus. Klien berdatangan dari mana-mana, bukan sekedar dari kotamu. Namun tetap saja ganjalan kecil itu sulit untuk dinafikan. Bahkan anak-anakmu nyaris tumbuh dewasa tanpa perhatian yang cukup dari ayahnya. Kadang memang sulit membedakan antara berkah dengan musibah.
***

Pagi itu, seperti biasa setiap keluar kota, kau menemani beliau sampai bandara diantar oleh driver beliau. Selain untuk memastikan bahwa tidak ada perlengkapan beliau yang tertinggal, memang kau ingin memanfaatkan semua waktu yang memungkinkan untuk bersama beliau. Karena kau tidak ingin betul-betul merasa kehilangan dirinya. Meski hanya sejenak, namun sudah cukup bagimu. Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba driver beliau menyapamu, ”Halo Anggi, apa kabar?”. Laksana tersengat listrik ribuan volt, kau tersentak mendengar sapaan yang agak kurang ajar dari driver beliau tadi. Sejak dari rumah tadi kau memang agak curiga dengan driver tersebut. Kau merasa pernah melihatnya, tapi entah dimana dan kapan. Namun dengan kesibukanmu mempersiapkan perlengkapan beliau, kecurigaanmu tadi terlupakan. 

”Ssi...siapa kamu sebenarnya. Kenapa kamu kurang ajar memanggil namaku seperti itu?”, katamu sambil beringsut ke kiri untuk bisa melihat lebih jelas wajah drivermu itu. Namun dengan tenang dia malah menepikan mobil kalian, dan kemudian membuka topi dan kaca mata hitamnya. ”Ini aku Anggi sayang. Ah, kamu sudah melupakanku ya..?” Betapa terkejutnya kau ketika menyadari bahwa ternyata drivermu itu adalah Andre, orang yang selama beberapa tahun ini kau cari. 

”Andre...? Kemana saja kamu selama ini? Kok bisa-bisanya kamu menjadi driver suamiku? Kenpa kamu meninggalkanku begitu saja waktu itu? Andre....”, tak sanggup lagi kau berkata-kata. Hatimu tercampur aduk menjadi satu. Antara kangen, marah, benci, kesal dan lain lain. Namun kau tak bisa memungkiri, kau sangat merindukannya. Ternyata cintamu kepada Andre tak pernah mati. Hanya mengalami hibernasi. Seperti halnya beruang kutub yang tertidur pulas selama musim dingin, dan akan kembali bergairah ketika musim semi tiba. ”Maafkan aku sayang. Setelah kejadian malam itu, aku terpaksa pergi. Kau tahu aku tak bisa diragukan. Aku sangat menyayangimu, dan aku yakin hanya aku seorang di dunia ini yang mampu membahagiakanmu. Makanya aku pergi. Aku harus membuktikan siapa diriku ini sebenarnya. Kamu terima suratku kan? Ceritanya panjang deh, sampai aku menjadi driver suamimu ini. Sini pindah duduk di depan. Sambil jalan nanti aku akan ceritakan semuanya.”
***

Meskipun penuh diliputi dengan selaksa keraguan, namun akhirnya kau pindah juga ke kursi depan. Bahkan kau tak sanggup menolak ketika tangan Andre merengkuhmu. ”This is crazy, no?”, kau menggumam. ”Ya ini memang gila”, kata Andre dalam hati, ”namun aku bisa gila kalau tidak menemukanmu sayang.” 

Sepanjang perjalanan pulang Andre menceritakan perjalanan hidupnya setelah kejadian malam itu. Dengan hati yang sakit karena merasa diremehkan, dia nekat menggelandang ke pulau dewata, Bali. Di sana dia bergabung dengan seniman seniman di bilangan Ubud. Dia nyantrik di padepokan Don Antonio Blanco, dan belajar seni rupa kontemporer dari senior senior di sana. 

Tidak mudah bagi Andre untuk bertahan di padepokan itu. Persaingannya sangatlah ketat. Pada awal-awal kedatangannya dia merasa jadi bulan-bulanan para senior. Mengepel lantai, meyiapkan makan, bahkan mencucikan baju para senior adalah hal biasa. Dua tahun dia diperlakukan seperti itu. Hanya karena tekad yang kuat untuk menjadi orang sukses, maka Andre tetap bertahan. Namun setelah melewati masa-masa sulit itu akhirnya Andre mulai bisa menyerap ilmu dari para seniornya. Dan dalam kurun waktu tujuh tahun karya karya Andre mulai banyak diminati oleh para kolektor dan kurator baik dari dalam maupun luar negeri. Puncaknya adalah ketika seorang turis Australia yang ’jatuh hati’ padanya menawarkan beasiswa ke The Perth Institute of Contemporary Arts (PICA). 

Bule ini sangat eksentrik, dia memberikan beasiswa kepada Andre tanpa embel-embel apapun. Dia hanya melihat bakat besar Andre yang perlu diasah, maka dia mengirim Andre ke PICA. Kalaupun ada satu syarat yang harus dipenuhi Andre adalah, ketika Andre sudah benar-benar expert, dia minta dibuatkan sebuah masterpiece yang hanya ada satu di dunia ini. Betul-betul seorang kurator sejati.

Dan Andre memberikan masterpiecenya itu. Sebuah lukisan kontemporer realis seorang gadis berkebaya yang terkesan klasik namun sangat cantik. Kekuatan lukisan Andre ini terletak pada keindahan bentuk mata dan bibir gadis ini. Matanya tidak terlalu lebar namun juga tidak sipit. Pas dan serasi bertengger di bawah sepasang alis tipisnya. Dengan menggunakan teknologi tertentu mata ini serasa hidup berkerlap kerlip, menatap sesiapa yang memandang lukisan tadi. Belum lagi bibir merahnya yang ranum. Bibir itu terlukis dengan sangat natural, terbebas dari sapuan lipstick, setengah mengembang, sangat menggoda. Sangat misterius, bahkan lebih misterius dari senyum Monalisa yang terkenal itu. Dinamakannya masterpiece tadi The Anggi. Yah, Andre memang sedang memotret kenangannya akan kau, wanita yang sangat dicintainya. Bule itu sangat senang dengan The Anggi. Dia bahkan menghibahkan separoh kekayaannya kepada Andre yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. 
***

Berbekal pemberian bule tadi Andre akhirnya mampu mendirikan sebuah Art Galery untuk menampung hasil karyanya yang beralamat di 53 James St (Perth Cultural Centre) Northbridge yang diberi nama A2 Art Galery. Kehidupan Andre di negeri kanguru itu bisa dibilang sudah mapan. Memang profesi seniman di sana sudah diakui keberadaannya, tidak seperti di negeri sendiri. Satu keinginan Andre sudah terpenuhi, dia sudah menjadi orang sukses. Namun apalah artinya sukses di negeri orang. Ibarat pepatah, hujan emas di negeri orang, masih lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Apalagi Andre ingat janjinya kepadamu. Maka dijuallah semua aset Andre di Perth dan dia pulang ke Indonesia.
***

Hal yang pertama dilakukan Andre adalah mendatangi rumahmu. Meskipun dia tahu kau telah menikah, itu tidaklah menyurutkan langkahnya untuk mencarimu. Dia terlalu mencintaimu untuk melepaskanmu. Berbekal alamat kantor suamimu, Andre berangkat ke ibu kota. Kebetulan waktu itu kantor suamimu sedang membutuhkan seorang driver, maka tanpa pikir panjang lagi dia langsung melamarnya, dan diterima. 

”Itulah kisah perjalanan hidupku, sampai mengantarku ke sini, dan bertemu denganmu hari ini. Terus terang aku senang bertemu denganmu lagi Nggi. Kamu belum jawab tanyaku tadi, apa kabar?” ”Eh,..oh,.. kabarku bbaik baik saja...”, kau masih terpukau dengan perjalanan panjang Andre untuk membuktikan siapa dirinya itu. ”Apa kamu bahagia..?”, Andre bertanya lagi. ”Apa itu penting untuk kamu Ndre?”, kau mencoba mengelak dari pertanyaan itu. ”Kalau nggak penting, aku tidak akan menanyakannya, Sayang..!”, kau jadi teringat masa-masa indah bersama Andre. Dia memang sering menggunakan kata sayang untuk menyebutmu. Dan kau sangat suka dengan sebutan itu. Kenyataannya kau tak sanggup menjawab pertanyaan terakhir Andre tadi. 

Kau sendiri sebenarnya bingung dengan arti kata bahagia itu sendiri. Apakah kau sudah bisa disebut bahagia ketika semua kebutuhan materiilmu terpenuhi? Atau dengan hadirnya dua orang buah hatimu juga sudah bisa menandakan kebahagiaan itu sendiri? Kau tetap tak kuasa menjawab pertanyaan Andre.
***

”Yang, kita mampir ke Ancol sebentar ya. Kamu nggak ada kesibukan kan hari ini?”, kata Andre sambil membelokkan mobil ke arah Ancol, tanpa memberikan kesempatan kepadamu untuk menjawab. Namun kau juga tak mampu menolak. Nyatanya kau sangat gembira bisa bertemu dengan Andre lagi. Hatimu sedang membuncah-buncah. Penuh cinta. Ternyata cinta pertama memang tak pernah mati. Ya, kau seakan baru tersadar bahwa Andrelah laki-laki pertama yang pernah membuatnya nyaman. Feel convenient. “Yang, aku sangat merindukanmu. Aku sangat menginginkanmu. Masih adakah kesempatan untukku?”, tiba-tiba Andre memberikan pertanyaan yang memaksamu memalingkan muka. Menyembunyikan parasmu yang memerah. Ingin rasanya kau berteriak. Berteriak dengan kekuatan penuh. 

Meneriakkan kata, “Aku mau Ndre,..sangat mau..!” Namun nuranimu berkata lain, dan itu yang terucap di mulutmu, ”Impossible Ndre, aku sudah punya suami dan dua anak. Aku bukan Anggi yang dulu lagi. Bahkan sekarang ini aku sedang mengandung anak ketigaku. Lihatlah perutku yang membuncit ini. Apalagi yang tersisa yang bisa kuberikan padamu. Apalah aku ini. Aku bukan siapa-siapa.” Andre justru menatapmu dengan penuh rasa cinta. Tatapan yang sama persis seperti tujuhbelas tahun yang lalu. ”Yang, aku mencintaimu. Apa adanya kamu. Aku ingin menyayangimu utuh. Aku tidak peduli dengan keadaanmu sekarang. Meskipun anakmu sudah dua. Meskipun kamu sedang berbadan dua, bagiku kamu tetap cantik. I just wanna make you happier in the rest of your life.” 

Melihat kesungguhan Andre itu, justru hatimu makin teriris-iris. Ingin rasanya kau menumpahkan semua ganjalan di hatimu kepada Andre. Ingin sekali kau mengatakan bahwa memang kau merindukan gaya-gaya Andre yang sangat romantis. Sesuatu yang tak pernah kau dapatkan dari beliau. Tiba-tiba kau merasakan sentuhan lembut di bibirmu. 

Hanya sekejap, namun kau merasakan keindahan sejuta pelangi di hatimu. “Maafkan aku Sayang, aku cuma meminta sedikit hak yang belum pernah kau berikan waktu itu.” Kau tetap terdiam. Kau masih melihat berjuta pelangi itu.
***

Sejak pertemuanmu dengan Andre kau merasa hidupmu kembali menjadi lebih hidup. Kau merasa sebagian rongga jiwamu yang kosong terisi kembali. Penuh bahkan. Romantisme demi romantisme kau tuai dengan rutin. Seperti pagi itu, tiba-tiba kau menemukan secarik kertas beruntaikan puisi.

Senyum

senyum ini untukmu, sayang..
hari ini, kemarin, esok dan seterusnya
meski perpisahan terjadi,
namun tak kan mampu mematahkan senyum untukmu

dan...
kau berhutang tujuhbelas tahun senyum itu padaku

Kau merasa melayang. Layaknya remaja yang dimabuk asmara. Tercepuk cepuk manja. Hatimu kian membuncah. Bahkan setiap kali beliau keluar kota, kau pasti lewatkan waktumu bersama Andre. Sekedar untuk makan siang, window shopping ke mal. Atau kadang kau sengaja bermanja-manja dengan minta ditemani ke toko buku, atau nonton. Kau merasa menemukan kembali dunia yang telah tujuhbelas tahun ini sirna.

Namun di lain waktu, hatimu berontak. Kau merasa bersalah kepada beliau dan kedua anakmu. Kau merasa telah menjadi pengkhianat. Kau jadi membenci dirimu sendiri. Kau ingin kembali ke pangkuan beliau, namun hatimu telah tertambat kepada Andre. Dan sebagaimana kodratnya, maka sebagai wanita hatimu tak mungkin tertambat di dua pelabuhan sekaligus. Runyamnya hatimu kini telah memilih Andre. Di depan beliau kau jadi merasa serba salah, dan penuh basa basi. 

Formalitas belaka. Ah, kau makin membenci dirimu. Apalagi setiap kali Andre memintamu. “Yang, maukan kamu jadi istriku? Aku yakin aku akan mampu membahagiakanmu. Hanya aku yang mengenalmu dengan baik. Aku akan memanjakanmu. Aku akan menjadikanmu wanita sejati. Kau bisa menjadi bola tenis lagi, dan aku tetap akan menjadi raketnya.. Aku telah buktikan diriku bisa menjadi orang sukses.”, katanya suatu saat sambil menunjukkan sebuah rekening bank yang angkanya sudah mencapai 12 digit. “Tapi itu tidak mungkin Ndre. I’m not available. Tidak mungkin aku mengkhianati cinta beliau kepadaku. Mungkin memang beliau terlalu sibuk, terlalu keras, namun itu semua toh demi kebaikan kami juga.”, kau coba mengajak Andre berpikir rasional.”Jadi aku sudah tidak punya peluang lagi? Sebenarnya kamu mencintaiku atau tidak sih”, Andre masih berusaha mendesakmu. “Apa masih perlu kujawab pertanyaanmu itu? Memangnya menurutmu kenapa aku masih mau jalan sama kamu? Dan peluangmu itu cuma satu, yaitu apabila beliau sudah nggak ada!”, jawabmu ketus karena mulai kesal dengan desakan-desakan Andre.
***

Hari harimu terus berlanjut. Kini kau serasa hidup di dua dunia. Satu dunia penuh romantisme. Sanjungan sanjungan manis selalu meluncur dari mulut Andre. Kadang terkesan menggombal. Tapi anehnya kau suka dengan gombalan khas Andre tadi. Kau tahu Andre tulus mengatakannya. Dia betul-betul ingin membuatmu bahagia. Sementara dunia satunya penuh dengan basa basi, formalitas dan ini yang paling menyiksamu, perasaan bersalah itu kian lama kian bergayut di kalbumu. Rasanya seperti ribuan ton besi baja memberati hatimu. Namun lagi lagi kau tak tahu harus berbuat apa. Hingga suatu pagi kau kembali mengantar beliau ke bandara karena seminggu ke depan beliau harus menghadiri persidangan di kota Makasar. 

Seperti biasa, kau pastikan semua persiapan beliau tidak ada yang tertinggal. Dan kau menemani beliau duduk di belakang, mengobrol sampai bandara. Masih penuh basa basi. Pulang dari bandara, kau pindah duduk di kursi depan. Kali ini penuh kemanjaan. Tanganmu tak pernah lepas dari genggaman Andre. Dan kalian kembali berduaan ke Ancol. 

Lepas makan siang, kau mendengar sekilas berita dari radio tentang kecelakaan yang menimpa sebuah pesawat dengan rute Jakarta-Makasar. Hatimu berdesir. Dengan was was kau dengarkan berita itu penuh perhatian. Pesawat Adam Air dengan nomor penerbangan KI 574 terjatuh di Selat Makasar. Diperkirakan semua penumpangnya tewas. 

Kau tak mampu berkata apa-apa. Tanganmu menggenggam erat tangan Andre. Kau tahu pesawat itu yang membawa beliau ke Makasar. Airmatamu pelahan menetes di pipimu. Hatimu miris. Kau ingat celetukanmu kepada Andre waktu itu, 

”Dan peluangmu itu cuma satu, yaitu apabila beliau sudah nggak ada!” 

Kau bingung harus bersedih atau bahagia. 

Ternyata memang sulit membedakan antara berkah dengan musibah.

Jakarta, 17 Juli 2008
nothing personal everything is imagination

Komentar

Postingan Populer