AKU HANYA INGIN HIDUP TENANG


Berita di tabloid wanita itu begitu mirip dengan sepenggal kisah hidupku. Pasangan artis cerai lantaran si istri tidak dapat menerima keinginan sang suami untuk berpoligami. Aku adalah direktur dari sebuah perusahaan keluarga yang bergerak di bidang distribusi farmasi. Memang posisi itu tidak aku dapatkan karena prestasiku, namun karena kelihaianku dalam menaklukkan hati putri pemilik perusahaan tersebut.

Kira-kira lima belas tahun yang lalu aku melamar ke perusahaan itu sebagai management trainee untuk posisi Branch Manager. Selama lebih kurang tiga bulan aku berlatih menerapkan ilmu tentang PLOC (Planning, Leading, Organizing dan Controlling) di bawah pengawasan pak Wahab, BM di kantor cabang tempat aku magang. Pak Wahab termasuk karyawan senior di perusahaan tersebut. Beliau sudah mengabdikan dirinya selama dua puluh lima tahun. Orangnya sangat bijaksana. Beliau tidak pernah menganggap dirinya sebagai bos, dan selalu memperlakukan bawahannya dengan baik. 

Namun justru karena keberpihakannya kepada bawahan itu membuat pihak manajemen tidak terlalu menyukainya. Itulah sebabnya meski bulan depan beliau sudah menghadapi masa persiapan pensiun namun posisinya tetap BM. Maklum saja perusahaan keluarga. Kekuasaan penuh ada di tangan owner. “Kalau kita ingin karir kita melesat maka kita harus pandai-pandai menyenangkan hati owner”. Itu adalah pesan pak Wahab kepadaku. Meski beliau sendiri tidak mau melakukannya.

Pesan pak Wahab itu selalu terngiang di telingaku. Aku harus menjadi orang sukses. Bagaimanapun caranya! Maka dari itu mulailah kususun strategi. 
***

Dari pak Wahab aku tahu bahwa bosku mempunyai seorang anak gadis yang saat ini sedang kuliah semester akhir di sebuah universitas swasta. Dina namanya. Dia mengambil jurusan Manajemen Perusahaan . Ah,.. ilmu yang sama dengan yang aku geluti selama ini. 

Aku yakin jika aku bisa mendapatkan gadis ini, maka mendekati orang tuanya adalah semudah membalik telapak tangan. Aku mulai mencari jalan agar dapat berkenalan dengan Dina. Mulai dari mencari info tentang jadwal kuliahnya. Hobinya. Makanan kegemarannya, sampai nomor ponselnya. Setelah beberapa hari kasak kusuk ke kanan dan ke kiri akhirnya kutemukan juga cara berkenalan dengan Dina.
***

Sore itu aku menelpon ponselnya dengan berpura-pura menanyakan apakah si pemilik nomor itu adalah Diana, teman kuliah yang lama tidak bertemu. Berawal dari salah sambung inilah, dengan bakat humorku yang lumayan tinggi, akhirnya aku berhasil berkenalan dengan Dina. Dari situ kami jadi sering berkirim sms. Sampai suatu hari aku berhasil mengajaknya untuk blind date di sebuah kafe di dekat kampusnya. 

Hari yang telah kami sepakatipun tiba. Dengan alasan tidak enak badan aku minta ijin ke pak Wahab untuk pulang lebih awal. Untung letak kantorku tidak terlalu jauh dari kampus Dina. Ketika sampai di kafe itu kulihat Dina sudah menunggu di meja yang agak menyudut. Seperti yang dikatakannya di telepon beberapa hari yang lalu, Dina mengenakan sack dress warna krem lengkap dengan syal coklat yang melilit leher jenjangnya. Aku sendiri hari itu sengaja ke kantor memakai celana krem dan baju biru muda dengan dasi biru tua bergambar drum. Sesuai kesepakatanku dengan Dina. 

Dari kejauhan sejenak kuamati Dina. Dia sedang asyik memencet-mencet tuts ponselnya, mungkin sedang mengirim sms untuk seseorang. Wajahnya pirus, alis matanya seperti bulan tanggal satu. Indah membingkai kedua matanya yang berkedip-kedip memandangi layar ponselnya. Hidungnya mancung dengan ujung yang sedikit menonjol keatas, terletak sangatlah serasi dengan bibir merahnya yang ranum bagaikan pinang terbelah dua. Yang agak kontras adalah dagunya terlalu kotak. Menandakan kekerasan hatinya. ‘You’ve got mail’, ponselku bergetar. Ada sms masuk. ‘Sampai mana?’, pesan singkat dari Dina.
***

Dengan agak tergesa aku berjalan menghampiri Dina. Begitu melihat ciri-ciri pria seperti yang pernah aku sebutkan padanya beberapa hari yang lalu dalam date kami, dia spontan berdiri. Memandangku sekilas. Sejurus kemudian dia angsurkan tangannya ke depan. “Dina Yunita”, dia menyebut namanya. Kontan saja aku terima uluran tangannya dengan tak lupa kusebutkan juga namaku. “Rudi Sundoro”
***

Itulah awal perkenalanku dengan Dina Yunita. Putri tunggal Pak Vincent Lembong, Presiden Direktur PT. Wiguna Wicaksana, perusahaan tempat aku bekerja, yang kini telah menjadi istriku. Aku hanya perlu waktu tiga bulan untuk menaklukan hatinya. Bermodal tampang dan badan kekar mirip artis Prismus Yustisio, dilengkapi dengan segala informasi tentang kegemarannya membuatku tak perlu berlama-lama dalam menggiringnya ke kursi pelaminan. Prediksiku memang tepat. Begitu aku berhasil mempersunting Dina, karirku melesat bak meteor. Selesai management trainee aku menggantikan posisi pak Wahab yang memang telah memasuki masa pensiun. Hanya enam bulan menjabat BM, aku langsung dipercaya untuk menjadi Regional Sales Manager (RSM) untuk wilayah Indonesia Timur. 

Aku tidak peduli dengan omongan miring semua orang tentangku. Penjilat. Munafik. Oportunis! Yang terpikir di kepalaku saat itu hanyalah bagaimana cara untuk meraih jabatan yang lebih tinggi. Aku sudah memegang kunci tersebut. Aku tidak perlu lagi memikirkan konsep-konsep keilmuan yang pernah aku timba di bangku kuliah. Aku tak peduli lagi dengan teori Rasionality-nya Descartes. Postmodernism-nya Derrida. Apalagi teori-teori manajemen praktisnya Matsusitha. Ataupun Kottler. Bullshit semua itu. Yang kuperlukan hanya satu. Membujuk istriku untuk merayu papanya agar secepatnya menyerahkan tampuk pimpinan perusahaan itu ke tanganku. Satu teori yang masih kupakai adalah kata mutiara yang pernah aku dapatkan secara tak sengaja di sebuah bookstore : Plan your work, work your plan. Untuk itulah aku benar-benar membuat rencana yang matang dalam usaha menguasai perusahaan milik mertuaku itu.
***

Sesuai dengan planningku, karirku terus menanjak. Setelah satu tahun menjabat RSM, aku dipromosi menjadi National Sales Manager. Satu setengah tahun kemudian aku sudah menduduki kursi Direktur sampai sekarang. Praktis aku hanya memerlukan waktu tiga tahun untuk mencapai posisi yang jika dikejar secara konvensional bisa memakan waktu puluhan tahun.

Yah, aku memang oportunis. Aku selalu dapat memanfaatkan kesempatan meski dalam kesempitan sekalipun. Aku masih ingat ketika kuliah di Universitas Gadjah Mada dulu. Meski telah mendapat beasiswa dari sebuah perusahaan rokok yang terkenal waktu itu, namun aku tetap minta kiriman uang dari ibuku di kampung dalam jumlah yang sama dengan ketika aku belum menerima beasiswa. Padahal ibuku sudah janda dengan penghasilan yang tidak besar pula. Hanya bergantung dari toko kelontong kecil di depan rumah dan uang pensiun bapakku sebagai tentara.

Lebih gila lagi sebenarnya aku telah mendapat keringanan SPP dari kampus. Dengan bekal surat keterangan tidak mampu dari desaku, aku hanya diwajibkan membayar limapuluh persen dari kewajiban mahasiswa umumnya. 

Aku juga tidak bisa melupakan kelicikan diriku dalam merebut peran utama dalam sebuah pementasan teater kampus. Hanya demi mendapatkan simpati dari seorang mahasiswi yang aku taksir waktu itu, aku rela membujuk dan merayu sutradara pementasan itu untuk memberikan peran utama kepadaku. Padahal aku tahu bahwa peran utama sebenarnya sudah jatuh ke tangan sahabat dekatku. Aku tak peduli dengan perasaan sahabatku waktu itu. Aku yakinkan sang sutradara bahwa aku lebih mampu membawakan peran tokoh oportunis dalam pementasan tersebut karena memang sesuai dengan karakterku sendiri. Dan sang sutradarapun percaya. Aku mendapatkan peran itu. Sekaligus simpati dari Sri, mahasiswi cantik yang aku taksir itu. 

Akhirnya Sri memang menjadi pacarku. Memang selain oportunis aku juga ambisius. Aku akan berjuang mati-matian demi mendapatkan keinginanku. Dengan cara apapun. Seperti halnya aku mendapatkan jabatanku sekarang ini.
***

Kini, sudah duabelas tahun aku menjadi direktur. Dan limabelas tahun menjadi menantu Pak Lembong. Bisa dibilang aku termasuk dalam segelintir exmud ibukota yang mempunyai nama yang gemilang. Perusahaan yang aku pimpin berkembang pesat. Sebenarnya itu semua bukan murni prestasiku. Aku mempunyai staf yang sangat ahli dan berpengalaman dalam bidang penjualan. Yang harus aku lakukan seringkali hanyalah mengambil keputusan dan menandatangani dokumen-dokumen kerjasama. Semua riset dan analisis sudah dilakukan oleh para staf ahliku. Akan tetapi karena aku yang menjadi direktur, tetap saja namaku yang berkibar. Oleh karena itu aku sering menerima tawaran untuk menjadi pembicara dalam pelbagai seminar tentang penjualan.

Secara materi aku sudah berlebih. Meskipun masih menumpang di rumah mertua (karena mertuaku tidak mengijinkan kami pindah dengan alasan mereka takut kesepian. Dan lagi Dina adalah putri tunggal sehingga rumah itu nantinya toh akan menjadi miliknya. Milikku juga), namun aku menikmati kemewahan rumah dan lingkungan elit di bilangan Jakarta Selatan itu. 

Semua kamarnya disejukkan dengan pendingin ruangan. Lengkap dengan kamar mandi yang bershower panas dingin dan jaccuzi model terbaru. Aku berangkat ke kantor mengendarai Mercy E 200 Kompressor keluaran terbaru. Diantar seorang sopir yang memperlakukanku benar-benar sebagai seorang juragan. Patuh. Aku menempati ruang kantor di lantai sebelas sebuah gedung di bilangan Bundaran HI. Fountain-view. Kala aku sedang merasa sumpek dengan rutinitas pekerjaanku, aku tinggal melongokkan kepalaku ke bawah. Menikmati setiap butiran air yang memancar ke atas untuk kemudian jatuh lagi ke bumi. Begitu seterusnya. Mungkin karena bintangku yang aquarius, mengamati hukum gravitasi bumi berlaku pada butiran air itu ternyata mampu membuat pikiranku kembali fresh .
***

Namun dalam kehidupan pribadiku aku tidak merasa bahagia. Aku telah kehilangan kebebasan dan ketenangan. Istriku ternyata sangat posesif dan nyaris paranoid. Dia sangat takut kehilangan diriku. Dengan alasan rasa sayangnya padaku, dia mengawasiku dengan ketat. Seketat mata burung elang yang sedang mengincar mangsanya. Sedikit saja tercium keanehan dalam sikapku padanya, dia pasti curiga. Dan ketika kecurigaannya itu tidak dapat dibuktikannya, dia pasti akan marah-marah. 

Kemarahannya inilah yang membuat aku sangat tersiksa. Mungkin karena dia anak tunggal yang keinginannya selalu dipenuhi oleh kedua orang tuanya, maka ketika ada hal yang tidak memuaskannya dia akan melampiaskannya dengan kemarahan yang luar biasa. Selain membanting benda apapun yang ada di dekatnya, dia akan berteriak-teriak histeris minta aku mengakui bahwa aku telah selingkuh. Tak jarang dia mencakar wajah dan sekujur tubuhku. Kalau sudah begini, aku hanya bisa memendam kejengkelan dan kemarahan yang sangat mendalam. Rasanya sesak sekali di dalam dada ini. Ingin aku balas meneriakinya. Atau bahkan memukulnya. Agar dia sadar bahwa aku ini suaminya. Aku ini seorang lelaki yang dalam kultur jawaku adalah sosok yang harus dihargai. Dihormati. Dan dijunjung tinggi kewibawaannya. 

Namun aku sadar kalau aku melakukan hal itu maka sia-sia sajalah perjuangan yang telah aku lakukan selama hampir dua belas tahun ini. Mertuaku pasti akan mendepakku. Baik dari rumah maupun kantorku. Mertuaku sangat menyayangi Dina. Apapun akan dia lakukan demi kebahagiaan anak semata wayangnya. Tidak seorangpun boleh menyakiti anaknya. Tidak juga suami anaknya.
***

Aku kembali mengamati tabloid wanita itu. Dalam hati aku membodohkan sikap si suami yang dengan penuh percaya diri menawarkan konsep poligami kepada istrinya. Mana ada istri yang sehat akalnya yang benar-benar ikhlas dimadu! Coba dia mengikuti langkahku.

Istri pertama dengan segala gemerlapnya tetap aku miliki. Meski harus kulalui dengan cabikan-cabikan dalam hatiku oleh tingkah parno istriku itu. Namun di sisi kehidupanku yang lain aku juga mempunyai keluarga yang betul-betul memperlakukanku sebagai seorang lelaki. Suami dan ayah.
***

Cerita perselingkuhanku terjadi kira-kira tiga tahun yang lalu. Waktu itu aku tengah menghadiri undangan seminar yang diadakan oleh satu perguruan tinggi swasta di kota hujan. Bogor. Selesai mengisi sesiku, aku minta ijin untuk kembali ke Jakarta karena ada urusan penting yang harus aku selesaikan. Ketika aku hendak menuju ke mercy-ku, aku melihat seorang wanita yang sepertinya aku kenal. Baru turun dari sebuah Daihatsu Ceria. “Sri..”, aku coba memanggil namanya. Wanita itu menoleh ke arahku. “Mas Rudi,…?”, dia menatapku antara percaya dan tidak. “Betul, ini mas Rudi?”, wanita itu kembali bertanya.

Mungkin dia belum yakin dengan penglihatannya. Penampilanku sekarang sangat berbeda dengan ketika masih kuliah dulu. Dulu rambutku gondrong. Kumis dan cambang tumbuh tak beraturan. Kini rambutku tersisir rapih mengkilat. Tanpa kumis dan cambang lagi. Klimis. Dulu hobiku mengenakan celana jeans belel dan T-shirt. Kemana-mana ditemani motor bebek keluaran tahun tujuhpuluhan. Sekarang Sri menemukanku dalam balutan stelan jas Gianno Armani. Dan bertengger di samping sebuah sedan mewah. Gagah. Wangi. “Ya, aku Rudi. Sedang apa di sini Sri?, kataku sambil mencoba menjabat tangannya. Dengan ragu dia menyambut uluran tanganku.”Aku mengajar di kampus ini. Mas sendiri ada acara apa?” 

Ya, wanita itu adalah Sri. Mahasiswi yang pernah aku taksir, yang kemudian menjadi pacarku. Namun ketika di Jakarta aku menemukan peluang yang lebih bagus untuk hidup masa depanku, dia kulupakan.

Itulah awal pertemuanku kembali dengan Sri. Sejak itu hidupku terasa lebih hidup. Dia seolah cahaya yang langsung menyinari kelamnya hatiku selama ini. Dengan berbagai cara dan alasan kepada istriku aku berusaha untuk sesering mungkin pergi ke Bogor. Salah satunya dengan membuka kantor perwakilan di kota itu. Dengan alasan pengembangan bisnis di kota hujan ini, dalam sebulan aku harus datang ke Bogor minimal empat kali. 

Istriku tidak pernah curiga karena dia sudah menyuruh sopirku untuk mengawasiku. Dia tidak pernah sadar bahwa solidaritas antar lelaki tidak bisa dibayar dengan uang. Karena dalam kenyataannya sopirku lebih berpihak kepadaku. Pintar sekali dia mengelabui istriku. Memberikan laporan palsu. Makin lempanglah jalanku untuk mendapatkan hati Sri kembali.
***

Ternyata gayung bersambut. Rupanya hati Sri tak pernah pindah dari tempatnya. Hatinya tetaplah tertuju padaku. Meskipun aku sudah mengkhianatinya. Dia tetap mencintaiku. Dia tetap melajang sampai sekarang karena di lubuk hatinya yang paling dalam dia yakin bahwa suatu saat cintanya akan kembali. Dan ternyata keyakinannya itu terbukti. Nyatanya kami dipertemukan kembali.

Lagi-lagi dengan segenap kelihaianku dalam menaklukkan hati wanita, aku bercerita tentang ketidak bahagiaan perkawinanku. Tentang watak istriku yang sangat posesif. Tentang hatiku yang terlalu sering tertekan. Sesak mendendam. Dan usahaku berbuah manis. Sri bersedia menjadi istri keduaku.

Dengan catatan dia tidak boleh mempublikasikan statusnya sebagai istriku. Istilah halusnya adalah simpanan. Dia juga harus berhenti dari tempatnya mengajar. Aku sudah membelikan dia rumah di sebuah perumahan mewah di kawasan utara kota Bogor. Semua kebutuhan hidupnya sudah aku cukupi. Kewajibannya hanya satu. Menjadikan aku merasa menjadi lelaki utuh. Sosok yang harus dihargai. Dihormati. Dan dijunjung tinggi kewibawaannya.

Yah, aku memang oportunis. Dan sedikit ambisius. Namun semua itu aku lakukan karena aku hanya ingin hidup tenang.

Bogor, Juli 2004 – Agustus 2006

Komentar

Postingan Populer