POKER


Dari luar, kios itu tak ubahnya seperti kios-kios kelontong yang lain. Bedanya kios itu menempati lokasi paviliun. Paviliun dari sebuah rumah gedung berarsitektur jaman Belanda kuno. Kios itu berukuran tiga kali tiga meter yang disekat dengan lemari yang penuh dengan aneka rupa dagangan. 

Dari mie instant, kecap, syrup, sampai kartu remi. Rumah intinya terletak di sebelah kanan -agak menjorok kedalam- paviliun itu. Hal lain yang sangat menonjol dari kios itu adalah ramainya orang yang duduk-duduk di beberapa bangku kayu panjang. Nyaris memenuhi trotoar depan rumah gedung itu. Sesekali terlihat beberapa orang di antara mereka keluar atau masuk melalui celah di antara lemari sekat yang hanya ditirai dengan selembar gorden hijau lusuh. 

Seekor anjing ras berwarna putih keabuan duduk tenang di samping salah satu bangku tersebut. Bulu kepalanya nyaris menutup kedua matanya.

“Guuk,..guk..guk!”, anjing itu menggonggong sambil menyeringai. Memamerkan geliginya yang berwarna kekuningan ketika menyadari kehadiran orang asing. Parjo dan Edi Gendut surut dua langkah. “Poker.. tenang!”, kata laki-laki berkulit hitam yang duduk di ujung bangku dekat anjing itu duduk. Di elusnya kepala anjing itu. “Apa bener di sini tempatnya Ndut?”, setengah berbisik Parjo bertanya. Sikutnya mampir di perut Edi Gendut. “Menurut informasi Slamet, di sinilah tempatnya. Di depannya ada masjid yang bersebelahan dengan Akademi Sekretaris. Terus satu lagi tandanya. Kirik yang barusan njegog kowe itu. Perhatikan. Ndak banyak kirik jenis itu di kota kita ini.”, Edi Gendut meyakinkan. “Nuwun sewu mas, apa bener ini kios Pak Marki?”, Edi Gendut mencoba bertanya kepada laki-laki berkulit hitam itu. 

“Siapa yang bertanya, dan apa maksud pertanyaannya?” Ternyata laki-laki berkulit hitam itu tak kalah garangnya dengan kirik yang dielusnya tadi. “Ehm,.. anu mas, saya Edi dan ini Parjo. Kami ini temennya mas Slamet Gembus. Katanya kalau mau mbenerin ‘payung’ bisa di kios Pak Marki ini”, Edi Gendut mempraktekkan apa yang diajarkan Slamet kepadanya bila hendak ‘bertamu’ ke kios Pak Marki. 

Mendengar kata payung, yang ternyata password di kios tersebut, tiba-tiba sikap laki-laki berkulit hitam itu berbalik 180 derajat. Hilang kegarangannya. Dia memperlakukan Edi Gendut dan Parjo laksana dua tamu kehormatan. “Oo, jadi mas-mas ini temennya Slamet Gembus to? Lha mbok ya bilang dari tadi. Jadi saya khan ndak bertanya-tanya dalam hati. Ayo,..ayo, monggo masuk!”, laki-laki berkulit hitam itu merangkul Parjo dan Edi Gendut, menuntunnya memasuki celah antara lemari sekat menuju bagian dalam kios kelontong tersebut.
***

Tiga kepala nongol dari tirai penutup celah antara lemari sekat itu. Serta merta semua mata yang ada di ruang dalam itu menatap curiga kepada mereka. “Aman,…aman kok Bapak-Bapak, teruskan saja permainannya!”, laki-laki berkulit hitam itu menenangkan para hadirin yang berada di ruang dalam tersebut. “Mereka ini teman baru kita. Mereka ingin ikut bernaung di bawah payungnya Pak Marki. Yang gendut ini namanya Edi. Yang satunya Parjo.” Hampir serempak Parjo dan Edi Gendut menganggukkan kepalanya. Mengiyakan ucapan laki-laki berkulit hitam itu.

Di ruang dalam kios kelontong tersebut terdapat sebuah meja bundar beralaskan taplak warna hijau. Di atasnya tersusun dengan rapi secara horisontal beberapa seri kartu remi dalam posisi terbalik. Tepat di tengahnya terkumpul sejumlah uang kertas. Pecahan lima puluh dan seratus ribuan. Serupa gunung anakan. Meja itu dikelilingi oleh enam kursi berbahan kayu jati. Joknya berwarna merah marun. Marun yang empuk. Orang-orang yang duduk di kursi itu kelihatan sangat serius. Beberapa lembar kartu terpegang erat di tangan mereka. Seolah khawatir terbang terbawa angin. 

Beberapa orang yang lain berdiri berkerumun di sekeliling meja bundar itu. Sesekali mereka memberikan komentar atas permainan yang tengah berlangsung. Parjo dan Edi Gendut ikut bergabung dengan orang-orang tersebut. Berdiri. Berkerumun. Mengamati trik-trik yang dilakukan para pemain. Ternyata informasi dari Slamet Gembus tidak meleset. Tentang sebuah tempat yang mudah dan aman untuk mencari uang. Di masa yang serba susah ini. Judi.
***

Awalnya Parjo ragu dengan tawaran -setengah bujukan- Edi Gendut. Sebuah spekulasi untuk mendapatkan uang dengan jalan pintas. “Ya, judi adalah jalan pintas menuju kekayaan!”, kata Edi Gendut waktu itu. “Dengan kepiawaianku berjudi dan ketrampilanmu sebagai ahli probabilitas matematis, aku yakin kita akan merajai setiap meja judi di negeri ini”, antusias Edi Gendut membujuk. “Tapi bukannya judi itu dilarang pemerintah?”, Parjo masih berusaha mengelak. “Itu kan resminya. Peraturannya. Tapi kalau yang berjudi itu para aparat pemerintah, ya aman-aman saja. Ya to?” “Memangnya ada Ndut?” “Wis to, kowe ikut saja. Tapi karena aku ndak punya modal, ya untuk sementara kowe yang modalin. Piye?”

Beberapa kali Parjo berpikir. Menimbang untung ruginya. Sebagai seorang guru matematika honorer di salah satu SMP di kotanya, sebenarnya Parjo sudah mempuyai penghasilan. Meskipun sangat kecil. Kecil sekali sehingga untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari Parjo harus mengojek pada sore dan malam hari. Di pangkalan ojek itulah Parjo mengenal Edi Gendut. Seorang pengojek juga. Tapi pengojek motor sewaan. Dulu, dulu sekali Edi Gendut mempunyai sepeda motor sendiri. Tapi motornya amblas di meja judi.
Parjo akhirnya menyetujui usul Edi Gendut untuk berspekulasi di meja judi. Suryani, pujaan hatinya sudah tiga setengah tahun menunggunya. Untuk itu dia perlu modal yang tidak sedikit. Dilegonya Astrea Grand tahun 1992 miliknya dengan harga lima juta rupiah. Menurut Edi Gendut dengan modal lima juta, dia mampu melipat-gandakannya menjadi lima puluh juta.

Parjo teringat kata-kata Edi Gendut waktu itu “Kalau yang berjudi itu para aparat pemerintah, ya aman-aman saja..!”, karena apa yang dilihatnya sekarang ini memang mencengangkan. Pemain yang duduk disamping kiri bandar itu pernah dilihatnya ketika memberikan penyuluhan anti narkoba di sekolahnya. Polisi. Yang duduk disebelah kanan bandar masih memakai dasi. Dilonggarkan. Jasnya diselimutkan pada sandaran kursinya. Pasti orang ini seorang pejabat. Paling tidak seorang usahawan sukses. Lebih gila lagi pemain disamping pak polisi. Beliau masih mengenakan seragam warna krem. Lengkap dengan tanda pangkat persegi panjang warna emas yang diatasnya terdapat bulatan-bulatan yang membentuk bintang tiga sudut. "Jaksa", desis Parjo. Dua pemain tersisa adalah Pak Marki. Pemilik kios sekaligus rumah itu. Dan temannya, orang kebanyakan.

Untuk menghormati tamu yang baru bergabung, Pak Marki langsung mempersilakan Edi Gendut menggantikan temannya. Permainan sudah mulai memanas. Keringat mulai berlelehan di dahi para pemain. Mungkin hari itu adalah the lucky day untuk Edi Gendut. Beberapa putaran hampir selalu dimenangkan oleh Edi Gendut. Bisa jadi karena tujuan yang ‘mulia’ dari Parjo. Untuk segera meminang kekasihnya. Dengan matang Parjo menghitung. Kapan ikut. Kapan mundur. Kemudian dibisikan ke Edi Gendut. Edi Gendut tinggal memainkan emosi. Untuk mengelabui lawan. Kadang menghela nafas panjang. Kadang menggaruk kepala dengan keras. Padahal tak gatal. Atau menghentak kaki. Sekedar membuat keki. Tak terasa tiga puluh jutaan terkumpul. 

Suasana makin panas. Parjo ingin berhenti. Edi Gendut terbuai emosi. Edi Gendut meyakinkan bahwa sebentar lagi lima puluh juta akan berpindah tangan. 

”Auuuu.…!”, terdengar suara lolongan si Poker. Anjing ras yang di luar tadi. Merintih. Menangis. Menimpali suara adzan subuh yang menggema dari masjid sebelah Akademi Sekretaris. Mungkin di kehidupannya yang terdahulu anjing itu adalah orang yang menghabiskan waktunya dengan sia-sia.

Bandar kembali membagikan kartu. Kartu keempat. Masing-masing satu. “Mbuelgedes..!”, pak polisi kita mengumpat. Membanting kartu-kartunya yang amburadul. Tiga Club, Tujuh Heart, As Spade dan Queen Diamond. “Saya mundur…ndak berani main lagi!” Edi Gendut tersenyum-senyum. Dengan pelan tapi pasti dia menambahkan lima ikat lembaran uang limapuluh ribuan ke dalam tumpukan uang di tengah meja itu. Lima juta. “Saya ikut lima , ada yang mau ikut ?” “Waduh, makin panas nih…!”, pak jaksa mendesah. “Aku mundur juga lah. Ndak berani kalau sudah main lima ke atas..!”, ditutup kartu-kartunya. Diserahkan kepada bandar. 

Dua pemain lainnya saling pandang. Yang satu mereguk kopi pahitnya. Yang lainnya menghisap dalam-dalam rokoknya. Semenit berlalu. Kaku. Kemudian, hampir bersamaan, mereka mengikuti jejak penantangnya. Melemparkan lima ikat lembaran limapuluh ribuan ke tumpukan uang di tengah meja bundar itu. Tiga pemain tersisa. Panas. 
Semakin panas.

Edi Gendut meradang. Pitch control-nya mulai hilang. Dilirik lagi kartunya. Empat kartu Spade; King, Queen, Sepuluh, dan Sembilan. Satu lembar kartu Spade lagi dia akan Flush. Artinya dia akan mengungguli dua pemain lainnya. Artinya uang di tengah meja bundar itu. Uang gunung anakan itu akan menjadi miliknya. Berdua dengan Parjo tentunya. Edi Gendut membuang pandangan ke arah Parjo. Minta saran. Parjo mengitarkan pandangan ke arah dua rival mereka. Satu kartu tertutup tertindih berat tangan keduanya. Satu kartu lagi akan diterima dari Bandar. Tertutup juga. Buta. Namun Parjo menghitung. Dari ilmu probabilitas matematis yang dikuasainya, paling beruntung dua pemain itu hanya akan mendapatkan Two Pairs. Disenggolnya pundak kanan Edi Gendut. Isyarat untuk maju. 

“Saya naikkan menjadi sepuluh..!”, Edi Gendut melempar sepuluh ikat seratus ribuan ke tengah meja. “Ada yang berani ?” Hening menghujam. Mencekat. Ternyata gertakannya membuahkan hasil. Satu pemain tumbang. Pejabat kita undur diri dari pertempuran. Tinggal dua pemain tersisa. Edi Gendut dan Pak Marki. “Cepat sini bagi kartunya..!”, merasa berada di atas angin, Edi Gendut memburu bandar untuk membagikan kartu terakhir. 

”Sebentar..”, Pak Marki menatap tajam mata Edi Gendut. Mencoba menjajaki dasar hatinya. Menebak-nebak kartu yang tersimpan dalam emosinya. “Sampeyan serius mau terus..?” “Loh,..siapa takut !”, Edi Gendut sudah tidak mampu mengontrol emosinya lagi. Pak Marki tersenyum kecil. Diangsurkannya semua uang yang tersisa di mejanya. “Saya tahu uang sampeyan tidak sebanyak punya saya. Tetapi tidak mengapa. Saya tantang sampeyan mempertaruhkan semua uang sampeyan. Pripun?” Parjo mencengkeram kuat pundak Edi Gendut. Khawatir. Kaget. Sementara Edi Gendut menghela nafas dalam-dalam sembari mengusap-usap matanya tak percaya. 

“Tenang Jo. Kita pasti menang. Total uang kita tinggal limabelasan juta, sementara uang Pak Marki masih empat puluhan juta. Ini kesempatan kita. Total uang itu sekitar tujuh puluh lima jutaan. Lebih dari prediksi kita.” 

“Tapi Ndut,..” “Sudahlah Jo. Percaya sama aku. Kita pasti menang.” Aroma kemenangan tercium sangat kuat di hati Edi Gendut. Dalam benaknya terbayang sebuah sepeda motor Rx King keluaran terbaru, yang larinya sekencang angin. Wusss, wus, wus. “OK Pak, kita ikut!”, katanya mantap.

Bandarpun melakukan tugasnya. Kartu terakhir dibagikan. Edi Gendut mengambil kartu itu. Ditangkupkan kepada kartu lainnya, kemudian diintipnya pelan-pelan. Dipirit. “Warna hitam itu,…” jantungnya serasa berhenti berdegup, “Huruf itu,…”, daaan…, yak, senyum seorang petani menghiasi kartunya, Jack Spade. Absolutely Flush. “Yesss…!”, pekiknya, “Kita menang..” Dia berdiri dan bersiap untuk meraup tumpukan uang di tengah meja itu. Uang gunung anakan itu kini berjumlah sekitar tujuh puluh lima jutaan. 

“Sebentar Mas,…”, Pak Marki menahan laju tangan yang sudah hampir menyentuh uang itu. “Sampeyan kan belum lihat apa kartu saya”. “Alaah, paling two pairs to?, lha ya jelas menang duwekku. Jelas-jelas Flush je!”, meski demikian diliriknya juga kartu lawannya itu. Yang terbuka jelas adalah King Club, Dua Heart, King Diamond, dan satu kartu terakhir dari bandar adalah Dua Spade. Two Pairs. Tapi jangan-jangan kartu yang tertutup adalah..…

Hati Edi Gendut mulai gusar. Surut dia terduduk kembali. Parjo ikut deg-degan. Menunggu.

Dengan pelahan bandar membantu membuka kartu yang masih tertutup. Benar saja, Dua Diamond. Full House !!!. 

Artinya Edi Gendut kalah. 
Parjo juga kalah. 
Ilmu probabilitasnya kalah dengan pengalaman dan keahlian Pak Marki. 
Keahlian mengendalikan emosi. 
Pak Marki yang tenang. Pak Marki yang menang. 

Lemaslah Parjo. Melayang sudah uang lima juta hasil melego sepeda motornya. Sirna pula harapannya untuk meminang Suryani. 

“Auuuuuuuuu,…!”, kembali terdengar lolongan si Poker. Kali ini lebih panjang. Lebih menyayat hati.

Bogor, Juni 2003-Agustus 2006

Catatan :
• Kirik : Anjing
• Njegog : Menggonggong
• Nuwun sewu : Permisi
• Piye;pripun : Bagaimana
• Kowe;sampeyan : Kamu;anda
• Duwekku : Punyaku
• Spade : Sekop
• Heart : Hati
• Diamond : Wajik
• Club : Keriting


Komentar

Postingan Populer