Hijrah

**
(sebuah cerpen oleh haridewa)

Perjalanan udara Jakarta-Yogyakarta terhitung lancar meski pada musim yang sudah mulai banyak hujan seperti bulan ini. Bersyukur, pesawat yang ditumpangi Kinan dan anak gadisnya masih mendarat di lanud Adi Sucipto, tak terlalu jauh dari kampus UGM. 

Menggunakan taksi bandara, mereka segera bergegas menuju ke bilangan Bulaksumur, lokasi legendaris salah satu kampus terbesar di negeri ini, Universitas Gadjah Mada. 

Sekalian ingin bernostalgia, Kinan mengarahkan driver taksi itu lurus  ke arah barat, meskipun GPS memintanya untuk belok kanan ketika sampai di pertigaan Gejayan. Kinan ingin memasuki wilayah kampus lamanya melalui gerbang utama, yaitu jalan Cik Di Tiro. Maka setelah melewati satu perempatan di mana terletak mal Galeria pada pojok kanannya, Kinan meminta driver untuk terus melaju sampai perempatan kedua, baru belok kanan. 

Kinan ingin menunjuki anak gadisnya kegagahan kampus lamanya, yang sekarang juga menjadi kampusnya, tegak lurus dari jalan Cik Di Tiro menuju Bundaran UGM. Hanya menempuh jarak sekitar 2 km, tampaklah di kejauhan sebuah bangunan megah yang menjadi landmark UGM, Gedung Grha Sabha Pramana. 

Genteng merah dan bangunan joglo raksasa tersebut rampung dibangun beberapa waktu sebelum Kinan diwisuda. Angkatannya adalah rombongan pertama yang beruntung menggunakan GSP sebagai lokasi wisuda mereka. Angkatan sebelumnya masih menggunakan Gedung Balairung, yang diperluas dengan tenda sebagai lokasi wisuda mereka. 

Berada di antara Boulevard dan Gedung Pusat, Grha Sabha Pramana memiliki arsitektur gaya Mataraman. Gedung ini digunakan untuk berbagai kegiatan sivitas akademika UGM, misalnya wisuda, rapat, dan penerimaan mahasiswa baru. 

Namun entah pihak mana yang memulai, setelah digunakan untuk wisuda perdananya, Kinan mendengar kabar bahwa auditorium itu juga digunakan untuk menggelar pesta pernikahan salah satu pejabat teras Yogyakarta. Alhasil oleh beberapa mahasiwa yang kritis, GSP dipelesetkan menjadi Grha Sabha Prasanggama. 

"Sekarang kita ke mana Bu?" Kinan tersadar dari lamunannya ketika driver itu berhenti di entry gate Bundaran UGM. 

"Eh, oh, kita ke Fakultas Sastra," jawab Kinan dengan tergagap

"Ibu punya kartu akses masuk? Petugas loket ini menanyakannya Bu?"
"Nggg, ndak ada Mas. Dulu waktu saya kuliah, tidak ada kartu akses seperti itu?" Kinan masih tergeragap karena pikirannya belum sepenuhnya kembali dari regresi. 

"Tujuan Ibu apa?" Driver itu menyambungkan pertanyaan dari petugas loket
"Mengantar anak melakukan daftar ulang," jawab Kinan setengah berteriak, berharap petugas loket mendengarnya untuk kemudian membiarkan mobil yang dia tumpangi lewat.

"Petugas minta satu KTP dititip di sini Bu, nanti bisa diambil lagi ketika keluar komplek kampus." Driver itu meminta Kinan meninggalkan KTP di loket tersebut
"Ribet banget ya hanya mau masuk kampus saja. Tidak seperti dulu." Sambil bersungut-sungut Kinan mengangsurkan KTP-nya 

"Kak, bangun Kak. Kita memasuki komplek kampusmu. Daerah ini namanya Bundaran UGM. Pada jaman ibu kuliah dulu, tempat ini adalah lokasi paling strategis untuk menyuarakan aspirasi mahasiswa. Beberapa kali ibu pernah ikut demo di sini." Kinan mengusik anak gadisnya yang rupanya jatuh tertidur begitu masuk ke dalam taksi tadi. 

"Oooahhm," anak gadis Kinan hanya menguap lebar, dan memicingkan sebelah matanya saja
"Lihatlah gedung megah di hadapanmu itu. Itu adalah Grha Sabha Pramana, auditorium kebanggaan kampusmu. Tempat kamu akan memulai pembelajaranmu di sini, dalam acara penerimaan mahasiswa baru nanti. Sekaligus juga akan menjadi lokasi terakhirmu sebagai mahasiswa, karena di situ pulalah ajang wisuda akan digelar." Dengan penuh semangat Kinan menyampaikan informasi, laiknya saat Kinan berorasi di bundaran UGM beberapa puluh tahun silam. 

"Mmmm, Ibu pernah ikut berdemo ketika masih menjadi mahasiswi dulu?" tak disangka-sangka justru hal yang selayang pandang saja Kinan sampaikan yang menjadi perhatian anak gadisnya. 

"Iya Kak. Bahkan beberapa kali ibu yang melakukan orasi. Ada yang salah dengan cerita ibu?" Dengan senyum lembut Kinan menjawab tanya anak gadisnya itu
"Ibuku yang lembut dan santun ini bisa ikut berdemo. Bahkan berorasi?" Seolah tak percaya, anak gadis Kinan mengulangi pertanyaannya. 
"Hmmm, banyak yang belum ibu ceritakan mengenai masa lalu ibu anakku. Sambil jalan, mumpung kita sedang berdua, ibu akan ceritakan. Yang jelas ibu dulu tidak seperti ini. Dulu ibu belum berjilbab. Ibu sangat suka dengan konser rock. Bahkan ibu sendiri pernah menjadi vokalis band kampus." Mata Kinan melirik ke kiri atas, menerawang kilasan-kilasan peristiwa masa lalu. 
***

Malam ini akulah milikmu, lupakan yang ada
Tetaplah di sampingku ooh walau malam tiba
Lepaslah rindu ini oh yeah sampai fajar tiba
Matahari menanti, bulan pun berhentilah

Reff:
Malam ini akulah milikmu, lupakan yang ada
Malam ini dekaplah diriku, lepaskan tangismu
Lupakan esok hari ooh walau waktu habis 
Apapun yang terjadi oh yeah ikutlah bersamaku
Matahari menanti, bulan pun berhentilah

Repeat reff
Kamulah pengantinku di malam dingin, alam bersaksi
Jalan masih panjang dan panjang berliku
-----

Potongan lagu 'Malam Ini' dari Power Slaves tetiba saja merangsek gendang telinga Kinan. Bola mata Kinan bergeser mengarah ke kiri datar, merujuk dentuman drum dan betotan bas punggawa band yang sedang naik daun waktu itu. 

Malam itu, Kinan bersama Anto -sahabat sekaligus drummer dari band kampusnya- sedang menikmati sajian musik dalam rangka Lustrum VI Fakultas Kehutanan UGM di pelataran parkir gedung perkuliahannya. 

Seperti biasa, pagelaran musik gratis seperti ini akan menjadi ajang hiburan yang diburu para mahasiswa yang uang sakunya pas-pasan seperti diri Kinan dan juga Anto. Kegembiraan yang meluap juga terasa sangat murni, karena selain pihak kampus sangat ketat dengan barang haram semacam minuman keras dan narkoba, para penonton dipastikan adalah rombongan penggemar dan penikmat musik rock kelas dewa. 

Semangat korsanya sangat jelas kentara, ditunjukkan dengan kompaknya headbanging yang dilakukan penonton malam itu. 

Headbanging merupakan aktivitas yang membutuhkan kekuatan berlebih saat menggerak-gerakkan kepala ke atas ke bawah, dan berputar-putar sesuai dengan hentakan musik keras. 

Gerakan ini pertama kali dikenal pada tahun 1970-an, di mana Motörhead merupakan salah satu band yang berhasil mempopulerkannya, seiring dengan genre baru musik ‘speed metal’ yang diusungnya. Sebuah musik dengan irama dan tempo yang cukup cepat, lebih dari 200 ketukan nada per menit. Sebuah kecepatan yang otomatis membuat para penikmatnya menggerakkan kepala mereka dengan cepat pula. 

Selain headbanging, aksi lain yang sering dilakukan penonton adalah stage diving atau melompat dari panggung konser ke kerumunan penonton di bawah yang sedang crowded. Dengan kompak penonton di bawah akan menangkap siapa pun pihak yang melakukan stage diving. Kadang sang vokalis, atau penonton lain. 

Musisi yang pertama kali melakukan stage diving adalah The Rolling Stones saat mereka menggelar konser di Belanda tahun 1964. Tidak hanya The Rolling Stones, Jim Morrison dan Iggy Pop juga terkenal melakukan aksi ekstrem ini. 

Kebersamaan seperti ini membuat Kinan ketagihan untuk selalu berburu informasi; fakultas apa yang akan menyelenggarakan konser musik cadas dalam waktu dekat. Dan selalu Anto yang akan Kinan ajak menemaninya menonton konser tersebut. 
***

Anto adalah kawan satu angkatan di Fakultas Sastra, tempat Kinan menuntut ilmu selepas dari bangku SMA. Kinan yang berasal dari pulau Sumatera, diterima di Jurusan Sastra Inggris melalui jalur PBUD (Pemilihan Bibit Unggul Daerah), sementara Anto yang memilih Jurusan Sastra Jawa adalah penduduk asli Yogyakarta; berasal dari sebuah SMA Negeri di Bantul. 

Perkenalan awal mereka terjadi ketika masa OSPEK atau Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus yang merupakan kegiatan awal bagi setiap peserta didik yang menempuh jenjang perguruan tinggi. Ospek dengan seluruh rangkaian acaranya merupakan pembentukan karakter bagi seorang mahasiswa baru. Dengan kata lain, baik tidaknya kepribadian mahasiswa di sebuah perguruan tinggi dapat terlihat oleh baik tidaknya pelaksanaan Ospek di perguruan tinggi tersebut.

Pada dasarnya, Ospek merupakan pintu ilmu bagi mahasiswa-mahasiswi baru. Pintu itu akan dibuka dan dicermati atau dipelajari secara saksama oleh mahasiswa-mahasiswi baru untuk memperdalam ilmunya. Bila dari pintunya saja sudah buruk, maka pola pikirnya bisa saja terus menduga bahwa ruangan di balik pintu akan sama buruknya. 

Selain merupakan pintu ilmu, ospek juga bisa menjadi pintu jodoh. Tak jarang perasaan senasib ketika mengikuti ospek membuat benih-benih asmara bersemi di antara mahasiswa dan mahasiswi baru tersebut. Bisa jadi hal itu juga yang terjadi antara Kinan dan Anto. 

Karena meskipun berlainan jurusan, namun mereka dipersatukan oleh grup band dadakan ketika inagurasi kelulusan ospek. 

Kalau boleh jujur, sebenarnya Kinan sudah tertarik pada penampilan Anto yang sangat selengekan dari pertama kali bertemu. Kinan sudah memperhatikannya ketika upacara penerimaan mahasiswa baru, baru saja dilaksanakan. Apa pasal? 

Sepagi itu Anto sudah ditangkap oleh kakak senior karena rambut belakangnya yang dibiarkan memanjang ketahuan disembunyikan di dalam kerah bajunya. Dia sudah berusaha memakai kaos putih turtleneck untuk menyembunyikan rambut panjangnya tadi. Namun ada satu kakak senior yang jeli, kemudian memintanya untuk menurunkan leher kaosnya, sambil memperhatikan bagian belakang kepalanya. 

Alhasil tampaklah segaris warna hitam pada leher bagian belakang, dan ketika ditarik keluar terdapat ekor kuda sepanjang hampir setengah meter. 

Kinan yang mengamati kejadian tersebut agak terperanjat, setengah takjub. 

"Hanya headbanger yang berani menyimpan rambut sepanjang itu, apalagi baru saja tamat SMA," gumamnya dalam hati. "Dia pasti pencinta rock sejati"

Rasa penasaran Kinan segera terjawab beberapa waktu kemudian. Pada malam hiburan untuk mahasiswa baru, hadir Sastro Muni, band legendaris Fakultas Sastra, dan mereka mengijinkan mahasiswa baru untuk melakukan jam session. 

Kinan meihat Anto melompat ke stage, dengan rambut yang sudah cepak, kemudian menggebuk drum dengan rancak dan penuh semangat. Seolah dia ingin melampiaskan kekesalan hilangnya rambut gondrongnya dengan menghantamkan kedua stik ke permukaan snare drum, tam tam, bass drum dan hi hats. 

"Hmmm, rupanya bukan sekedar headbangers, dia juga drummer handal." Diam-diam rasa suka Kinan kepada mahasiswa baru tersebut kian bersemi dalam hati. 

Hati Kinan makin berbunga-bunga. Wanginya bahkan mengalahkan semerbak mekarnya bunga daisy di lereng gunung Perahu, ketika dalam pembentukan grup band dadakan untuk tampil dalam inagurasi kelulusan ospek, Kinan terpilih menjadi salah satu vokalis. Dan tentu saja setelah melihat aksi Anto di malam pembukaan, dialah yang didaulat sebagai drummer. 

Tuhan memang Maha Adil, Kinan tidak tahu kalau lokasi asrama mahasiswa daerahnya rupanya satu kampung dengan rumah Anto, di seputaran Lempuyangan. Maka selama proses latihan, Antolah yang diminta untuk mengantar dan menjemputnya. Tentu Kinan sangat gembira dengan kebetulan ini. Meski hanya diboncengkan menggunakan Honda 70, namun keriangan Kinan sangat membuncah. Meluap-luap seperti banjir Kali Gajah Wong beberapa waktu silam. 

Secepat kilat Kinan langsung akrab dengan Anto. Selain grup musik idola mereka sama, beberapa lagu favorit mereka juga serupa. Sangat asyik berbincang musik dengan Anto, apalagi jika membahas musik rock. 

Keakraban mereka menjadi semakin intim ketika Anto iseng-iseng mengajak Kinan menonton pagelaran musik kampus. Rupanya sudah sejak lama Anto menjadi pemburu konser gratis musik kampus. Bukan hanya kampus UGM yang menjadi sasarannya. Terkadang dia juga menyantroni UII, UPN Veteran atau ISI Yogyakarta. 

Dan semenjak menjadi warga Alfa Bravo (AB), sudah banyak konser musik kampus yang Kinan datangi bersama Anto. 
Bahkan suatu kali, Kinan pernah diajak menghadiri malam perpisahan SMA Anto yang digelar di Gedung Purna Budaya, Bulaksumur. Tentu Kinan tak menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Karena Kinan pasti bisa lebih mengenal masa lalu Anto. 

Bakda maghrib Anto sudah menjemput Kinan di asrama. Seperti biasa dengan mengendarai 'si pitung' (begitu dia menamai motornya. Konon artinya adalah si pitungpuluh, alias 70), mengenakan jins  biru yang sobek pada lututnya, t-shirt putih dan jaket kulit, dia terlihat sangat gagah. Ibarat Lucky Luke di atas kudanya. 

Kinan pun tak mau kalah, dia juga mengenakan celana sejenis, jins biru yang sengaja disobek lututnya, dan t-shirt putih ketat. Berbeda dengan Anto yang rambutnya sudah mulai memanjang sebahu, Kinan lebih memilih untuk memotong pendek rambutnya ala Conny Dio. 

Perjalanan menuju Purna Budaya seperti sebuah bulan madu syahdu. Sepanjang jalan Kinan memeluk erat pinggang Anto. Ukuran jok honda 70 yang memang relatif pendek dibandingkan motor lain, membuat kemesraan mereka semakin menjadi saja. Kinan acuhkan pandangan iri, sirik atau risih pengguna jalan lain. Serasa jalan raya itu milik mereka berdua, orang lain biarlah kost! 

Setiba mereka di Purna Budaya, acara baru saja dimulai. Ketika melewati pemeriksaan tiket, beberapa adik kelas Anto yang bertugas langsung mengenalinya, dan membiarkan mereka masuk, meski Anto tidak memiliki tiket masuk

"Halo Mas Anto, ke mana saja? Tahun lalu kok enggak datang di perpisahan. Kurang ramai acaranya tanpa kegilaan Mas Anto jadinya nih!" Rupanya Anto termasuk sosok populer di SMA-nya. 

Bahkan ketika sedang kesulitan mencari tempat duduk, tetiba saja ada satu panitia berparas cantik yang menyapanya. "Hai Mas Anto. Surprise lho, Mas Anto datang malam ini. Kirain absen lagi kayak tahun lalu. Ayo duduk di barisan depan, kebetulan orangtuaku berhalangan datang. Jadi ada kursi VIP kosong di sana." Santai saja panitia itu menggandeng tangan Anto, tanpa memerdulikan ada Kinan di sampingnya. 

Dengan agak kikuk, Anto mencoba mengenalkan Kinan. "Na, kenalkan ini kawan kuliahku, Kinan" 
"Ooo ini yang namanya Mbak Kinan to? Kenalkan aku Ratna Mbak. Aku adik kelasnya Mas Anto." Seolah baru menyadari kehadirannya, panitia cantik itu menyalami Kinan. Mereka sampai di kursi barisan paling depan. Di barisan itu berjejer beberapa sofa, yang disusun khusus untuk para guru dan undangan VIP. 

Ratna menunjukkan satu sofa kosong yang muat untuk duduk 3 orang, kemudian menyilakan mereka, tepatnya menyilakan Anto, untuk mengisinya. Setelah berbasa basi sejenak Ratna minta ijin undur diri untuk menyelesaikan beberapa kewajibannya. 

Namun itu tak lama. Dia hanya pamit ketika acara masih berkutat pada sambutan-sambutan. Ketika acara pentas seni sudah dimulai, dia kembali ke sofa VIP tadi dan minta tempat di samping Anto. 

Entah kenapa perasaan Kinan menjadi gundah. Sajian teater yang sebenarnya sangat mengocok perut terasa garing di pikirannya. Ibarat singa betina yang merasa wilayah kekuasaannya terganggu, Kinan mulai mencengkeram lengan kanan Anto. Kepalanya juga mulai dia rebahkan di pundak Anto. Sebuah isyarat dari wilayah yang paling buas di dalam hati Kinan terpancar. "Jangan macam-macam, Anto adalah milikku!"

Sebenarnya Kinan sendiri heran, apa yang sebenarnya sedang terjadi. Selama ini Kinan merasa hubungannya dengan Anto baik-baik saja. Mereka bisa berlatih musik bersama, bisa makan siang di Kansas (kantin sastra) bersama, bisa saling bercanda dengan kawan satu angkatan, tanpa Kinan merasa terusik sedikit pun. 

Memang kawan-kawan lain menganggap mereka telah berpacaran, tapi apakah itu benar adanya? Memang benar sedari awal latihan musik inagurasi ospek, Antolah yang menjemput dan mengantar Kinan. Bahkan ketika mereka bersama memutuskan untuk memulai grup band baru pun, Anto yang selalu bersama Kinan. 

Malam-malam memburu konser musik gratis juga sudah puluhan kali mereka lewati bersama. Tapi hanya itu! Meski Anto tak pernah protes dengan semua perilaku dan kemanjaan Kinan, nyatanya dia belum pernah sedikit pun menyatakan rasa cintanya kepada Kinan. 

Bahkan, tadi ketika mengenalkan kepada adik kelasnya yang cantik itu, Anto hanya menyebut Kinan sebagai kawan kuliah! Bukan pacar. Bukan kekasih. Atau minimal teman tapi mesra. Hanya kawan kuliah. Tak lebih, dan tak kurang!

Yaa ampun, Kinan merasa sangat naif. Maka sisa pertunjukan malam itu hanya berlalu bagai angin malam. Bahkan kegilaan Anto ketika didaulat untuk tampil ke panggung pun tak mampu mengobati kegundahan Kinan. Matanya hanya menatap kosong ke atas panggung. Padahal lagu yang dibawakan malam itu adalah salah satu lagu favorit mereka, Carrie dari Europe

When lights go down, I see no reason.
For you to cry, we've been through this before
In every time, in every season
God knows I've tried
So please don't ask for more

Can't you see it in my eyes?
Though this might be our last goodbye
Carrie, Carrie
Things they change my friend
Whoa oh
Carrie, Carrie
Maybe we'll meet again

Somewhere, again
I read your mind with no intentions
Of being unkind, I wish I could explain
It all takes time
A whole lot of patience
If it's a crime, how come I feel no pain?

Can't you see it in my eyes?
Though this might be our last goodbye
Oh ho ho
Carrie, Carrie
Oh, things they change my friend…
----

Isi lagu yang selama ini tak terlalu Kinan gagas, justru terasa merobek-robek hatinya. Yang tak Kinan sadari selama ini adalah; ketika bertemu dengannya, Anto sebenarnya sedang mengalami patah hati karena ditinggal pergi oleh kekasihnya. Alasannya pun sangat sederhana. Kekasihnya itu kecewa karena tidak diterima di UGM. Kebetulan kekasih Anto itu juga vokalis band, dan lagu Carrie ini justru sedang menggambarkan suasana hati Anto. 

Kelak Kinan akan tahu hal ini, namun saat itu situasinya sudah berubah seratus delapan puluh derajat. 
***

"Bu, kita ke arah mana nih?" Untuk kedua kalinya driver taksi itu membuyarkan lamunan Kinan. Saat itu mobil yang Kinan tumpangi berada di ujung Boulevard. 

"Belok kanan Mas!" Singkat saja Kinan menjawab pertanyaan itu. 
"Mmm sebentar Mas, dulu seingat saya tidak terlalu banyak pagar pembatas seperti ini ya. Seharusnya kita bisa langsung masuk melalui jalan Nusantara ini. Tapi sekarang ada pagar penghalang. Coba lurus lagi Mas. Di ujung jalan nanti belok kiri." Setengah kebingungan Kinan memperhatikan perubahan kondisi kampus yang hampir 30 tahun tak dia sambangi ini. 

"Sudah belok kiri ini Bu, terus ke mana lagi?" Driver itu bertanya lagi.
"Lurus Mas, nanti kalau sudah terlihat Fakultas Psikologi, belok kiri lagi," jawab Kinan yakin

Kinan takjub ketika melihat sepanjang jalan Sosio Humaniora terparkir berderet mobil berbagai tipe dan merk, sesuatu yang dulu tidak nampak di jaman Kinan kuliah. Ketika kemudian Kinan masuk Fakultas Sastra melalui pintu utara pun, Kinan sempat kebingungan, seperti telah salah masuk. Di sebelah kiri, di lokasi Kansas atau Bonbin, kini menjadi tanah kosong, dengan tanda peringatan mengenai genset yang berada di bawahnya.

Jika dulu bangunan paling tinggi hanyalah dua lantai, yaitu Gedung A dan Gedung B, sekarang Fakultas Sastra yang sudah berubah nama menjadi Fakultas Ilmu Budaya ini telah memiliki auditorium tersendiri setinggi 3 lantai yang diberi nama Gedung Poerbatjaraka. Lebih menakjubkan lagi adalah kemegahan bangunan berlantai 7 yang berdiri kokoh di bekas lahan yang dulu Kinan kenal sebagai SELTU (Staff English Language Training Unit). Gedung tersebut diberi nama R. Soegondo, yang merupakan nama dari direktur pertama SELTU yang juga pernah menjabat sebagai Dekan FIB pada periode 1966-1969 dan 1969-1971. Ia merupakan salah satu pendiri program studi Sastra Inggris di UGM dan tokoh penting bagi perkembangan fakultas ini.

Gedung R. Soegondo memiliki dekorasi bangunan menggunakan konsep relief kerawangan yang diambil dari ragam etnis nusantara mulai dari batik Yogyakarta, pasurak Toraja, dan sebagainya. Sementara itu, pola lanskap mengadopsi pola tapak candi-candi di kawasan Prambanan yang dipertegas melalui pembatas berupa pagar pendek dari batu bata seperti yang dijumpai pada lingkungan kuno di kompleks Mataram Kotagede.

Gedung yang kini menjadi salah satu kebanggan Fakultas Ilmu Budaya ini difungsikan sebagai tempat beraktivitas kreatif dan inovatif bagi seluruh sivitas akademika yang ditujukan bagi kepentingan lebih besar, yakni kepentingan pengembangan keilmuan bagi kemaslahatan masyarakat. 

Diharapkan FIB mampu melahirkan budayawan yang unggul dan memandu jalannya bangsa Indonesia menuju kejayaan budaya nusantara dan peradaban Indonesia untuk peradaban dunia menjadi lebih baik. 

Satu lokasi yang tidak berubah adalah teras depan fakultas. Akses pintu gerbang utama FIB dari jalan Nusantara ini masih sama persis seperti 30 tahun lalu, ketika Kinan tinggalkan. 

Lihatlah pohon pinus yang berdiri menjulang tinggi itu. Dedaunan jarumnya bergoyang ditiup angin, mengeluarkan gemerisik khas, seolah mengucapkan selamat datang kembali kepada Kinan. Taman kecil di bawahnya yang berisikan bunga-bunga tropis semacam rembosa mini, philodendron, puspa bangsa, lili paris dan soka merah juga masih tersusun rapi di tempatnya. Bahkan pohon heliconia itu juga masih tegar berdiri di samping pohon pinus. Pohon heliconia ini mirip seperti pohon pisang. Batang heliconia juga berpelepah dan daunnya juga mirip seperti pohon pisang. Karena itu, tak heran kalau tanaman heliconia disebut sebagai tanaman pisang-pisangan. Cara berkembangbiak heliconia juga mirip seperti pohon pisang, ia tumbuh berkelompok dan rimbun. 

Mungkin heliconia ini adalah cicit dari cicit heliconia yang dulu sering Kinan petik bunganya, untuk Kinan keringkan dan dijadikan pembatas buku. 

Background di belakang taman kecil itu adalah dinding batu granit setinggi 2-meter dengan tulisan FAKULTAS ILMU BUDAYA berwarna merah. Di belakang dinding granit itu terdapat beberapa tempat duduk terbuat dari beton, yang dulu sering Kinan gunakan ketika berdiskusi dengan beberapa kawan kuliah, termasuk Anto. 

Di lokasi itulah akhirnya Kinan mengajak anak gadisnya bercengkerama, menunggu proses daftar ulang yang segera dibuka beberapa menit lagi. 

"Jadi dulu Ibu sering ikut demo mahasiswa ya Bu?" Rupanya anak gadis Kinan masih penasaran dengan celetukan ibunya ketika melewati bundaran UGM tadi. 
"Bukan sering, tapi pernah ikut," jawab Kinan agak diplomatis. 
"Lebih dari sekali khan Bu?" kejar anak gadisnya lagi. Dan Kinan hanya mengangguk lemah mengiyakan.
"Itu artinya sering Bu. Ayo ceritakan dong. Pasti ada mahasiswanya juga khan? Ayah bukan Bu?" Anak gadis Kinan makin penasaran menyadari keengganan ibunya menjawab

Wajar saja jika anak gadis itu penasaran, karena ibu yang selama ini dikenalnya merupakan housewife yang sangat lembut. Boro-boro mengeluarkan suara keras, atau berteriak, menolak pengemis atau pengamen yang kadang terasa mengganggu saja tak pernah Kinan lakukan. Kinan sengaja menyisihkan sisa uang belanja, agar setiap kali ada pengamen atau pengemis datang, Kinan bisa memberi mereka uang. Meski recehan. 

Kinan jarang keluar rumah jika bukan karena acara pengajian, atau menghadiri undangan pesta dari saudara atau kolega suaminya. Hidup Kinan hanya berkutat untuk melayani suami dan anak-anaknya. Dan itu memang Kinan jalani dengan tulus ikhlas, sebagai sebuah pengabdian. 

"Iya Kak. Beberapa kali Ibu memang ikut demo. Bahkan melakukan orasi. Dan kamu betul, memang ada seorang mahasiswa yang membuat Ibu jadi ikut-ikutan melakukan demo. Bukan ayahmu. Namanya Om Anto, tapi itu hanya masa lalu. Dan biarlah tetap menjadi masa lalu.  Yang penting Ibu sudah bahagia sekarang, bersamamu, adik-adikmu dan ayahmu." Kinan menjawab lagi penasaran anak gadisnya dengan diplomasi tingkat tinggi, sekaliber menteri keuangan yang sedang menjelaskan alasan turunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar akhir-akhir ini. 

Tentu Kinan tidak menceritakan keriangan malam-malamnya menonton konser bersama Anto yang selalu gegap gempita. Apalagi kemasgulan Kinan di malam perpisahan SMA Anto waktu itu. Ada hal yang lebih penting yang Kinan ingin ceritakan kepada anak gadisnya. Yaitu titik balik kehidupannya, yang membuatnya menjadi seperti sekarang ini. 

"Setelah selesai mengurus proses her registrasi-mu, Ibu akan ajak kamu menuju satu tempat paling bersejarah bagi kehidupan Ibu. Bahkan mungkin juga bagi kehidupan keluarga kita." Kemudian Kinan membantu anak gadisnya mengurus semua berkas daftar ulangnya. 

Sejenak Kinan teringat bahwa dulu dia juga pernah melakukan hal yang sama. Hanya bedanya waktu itu semua dia lakukan sendiri. Ibu Kinan memang sudah tiada ketika dia masih duduk di bangku SMP. Ayah Kinan juga hanya seorang buruh tani di kampung. Maka dengan keberanian yang dipaksakan, Kinan berangkat dari pulau seberang dengan menumpang bis antar kota antar propinsi kelas ekonomi. 

Hampir selama 24 jam perjalanan darat Kinan tempuh, bersama dengan puluhan penumpang lain. Rata-rata mereka adalah para pedagang yang ingin mengadu peruntungan di pulau Jawa. Meski bis besar itu memiliki daya tampung reguler sebanyak 54 tempat duduk, namun demi mengejar omset, pengemudi bis itu menambahkan 4 bangku bakso di sela-sela kursi penumpang lain. Satu bangku diisi oleh 4 penumpang tambahan. 

Alhasil bis itu ditumpangi oleh 54+16+3 kru. Tujuh puluh tiga nyawa berjuang bersama mengadu nasib ke pulau Jawa. Tanpa AC pula. 
Bisa dibayangkan sumpeknya ruangan bis tersebut sepanjang perjalanan. 

Apalagi jika ada penumpang yang mulai memakai minyak angin. Hadeh, jika tak ingat cita-citanya ingin mengangkat harkat martabat keluarga, mungkin Kinan memilih untuk balik kanan saja, dan menjadi buruh tani juga meneruskan warisan keluarga. 

"Beres Bu. Semua berkas sudah diterima. Secara resmi aku sudah menjadi warga kampus biru ini. Lihat, aku bahkan sudah mendapatkan jaket almamater," dengan antusias anak gadis Kinan menunjukkan jaket berwarna hijau pucat, yang sampai sekarang juga masih menjadi kebanggaan Kinan. "Kita ke mana sekarang?" dengan halus anak gadis Kinan menagih janji yang Kinan ucapkan tadi

"Masjid," jawab Kinan pendek.
"Masjid Kampus?" tanya anak gadis Kinan lagi
"Iya dan bukan. Dulu sebelum Masjid Kampus dibangun, masjid inilah yang seolah menjadi masjid besarnya UGM. Kita ke Masjid Mardliyyah." Dengan mantab Kinan mengutarakan ke mana tujuan mereka selanjutnya. 

Setelah menekan beberapa tombol di smartphone-nya, Kinan mengangkat telepon dari seseorang. "Ya betul Pak. Saya ada di dalam FIB. Anda tunggu saja di jalan Nusantara, saya akan menuju ke sana"
***

Hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit menggunakan taksi online menuju  Masjid Mardliyyah. Dan Kinan merasa lebih takjub lagi ketika melihat bangunan masjid berlantai 5 berdiri megah di samping RSUP Sardjito. Pada gerbangnya terpampang huruf silver bertuliskan MARDLIYYAH ISLAMIC CENTRE. 

Masya Allah, masjid bersejarah ini telah bermetamorfosis menjadi sebuah Islamic Centre. Masjid di mana di masa lalu telah menghantarkan Kinan mengalami transendensi diri. Dari seorang lady rocker, yang terbiasa mengenakan jins sobek dan t-shirt ketat, menjadi seorang muslimah sejati yang memakai gamis serta hijab lebar yang menutup semua auratnya. 

Adalah kakak tingkat beda jurusan yang kebetulan berasal dari daerah yang sama dengan Kinan yang mengajaknya waktu itu. Rupanya dia memperhatikan kemurungan Kinan beberapa waktu setelah pulang dari acara perpisahan SMA Anto malam itu. Dia menengarai perubahan sikap Kinan baik di asrama, maupun di kampus. Maka setelah dengan sangat hati-hati dia mengajak Kinan berdiskusi, ikutlah Kinan dalam bootcamp kajian muslimah sejati selama 1 minggu di Masjid Mardliyyah. 

Adapun kakak tingkat Kinan tersebut merupakan alumni program tahun sebelumnya. Namun dengan sabar dia tetap menemani Kinan melakukan pencarian jati diri seorang muslimah sejati dalam kurun waktu satu minggu itu. 

Banyak pemahaman baru yang Kinan dapatkan saat itu. Mulai dari kemuliaan seorang muslimah yang wajib terjaga sampai akhir hayatnya, sampai adab berhubungan dengan lawan jenis. Bahkan tata cara berpakaian pun sudah diatur sedemikian sempurnanya dalam Islam. 

Semua itu pada dasarnya adalah untuk menjaga kemuliaan seorang wanita. Sesungguhnya wanita muslimah memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam dan pengaruh yang besar dalam kehidupan setiap muslim. 

Dia akan menjadi madrasah pertama dalam membangun masyarakat yang shalih, tatkala dia berjalan di atas petunjuk Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Karena berpegang dengan keduanya akan menjauhkan setiap muslim dan muslimah dari kesesatan dalam segala hal.

Memang hubungan Kinan dengan Anto tak pernah jauh dari mengobrol, bermain musik, atau menonton konser musik. Meski banyak orang mengatakan bahwa mereka berpacaran, bahkan Kinan sendiri juga berpendapat demikian, namun Anto terlalu sopan untuk melakukan perbuatan yang tak semestinya dia lakukan. 

Justru Kinanlah yang yang lebih sering bermanja-manja kepadanya. Kemesraan paling tinggi yang berani Anto lakukan adalah menggandeng tangan Kinan ketika menyeberang jalan. Dan Kinan sangat suka momen-momen seperti itu. 

Namun semua itu ternyata sangat menyimpang dari ajaran agama yang telah Kinan anut dari lahir. 

Seminggu penuh Kinan digodog dalam kawah candradimuka kemuslimahan. Dan pada hari senin seminggu setelah mengikuti bootcamp tersebut, Kinan berangkat ke kampus sudah dalam wujud barunya. 

Seorang muslimah sejati, lengkap dengan gamis dan hijab panjangnya. Kedua aparel itu juga Kinan dapatkan dari hibah para-alumni bootcamp tersebut. Jaman itu belum banyak toko yang menyediakan busana muslimah, karena memang jumlah wanita yang memakainya juga masih sangat terbatas. 

Tentu saja penampilan baru Kinan menggemparkan kampusnya. Banyak yang mengucapkan selamat, namun tak sedikit juga yang menyayangkan keputusan Kinan. Kinan adalah salah satu idola panggung rock kampus saat itu. Bukan hanya Fakultas Sastra yang menjadi ajang pentas Kinan, fakultas lain, bahkan perguruan tinggi lain di Yogyakarta juga sudah mulai mengundang grup band Kinan. 

Namun hati Kinan sudah mantab dengan transformasi ini. Lagi pula bukan komentar mereka yang Kinan tunggu. Ya, siapa lagi kalau bukan Anto. 

Sudah hampir satu bulan, sepulang dari malam perpisahan SMA-nya itu, Kinan memang menghindar bertemu dengan Anto. 

Kebetulan saat itu memang sedang musim liburan awal tahun ajaran baru. Mungkin Anto berpikir kalau Kinan pulang kampung. Jaman itu belum ada benda ajaib yang namanya ponsel. Telepon rumah saja baru dimiliki oleh pejabat atau segelintir orang kaya. Maka Kinan juga tak heran jika Anto tidak berusaha menghubunginya. 

Ke mana harus menghubungi, jika tak ada satu sarana komunikasi yang bisa digunakan? 

Begitu istirahat makan siang, Kinan segera bergegas menuju Mushola Al Adab, karena Kinan tak ingin tertinggal jamaah shalat dhuhur. Ketika hendak meninggalkan mushola, Kinan melihat Anto duduk di teras mushola. Pasti dia telah mendengar kabar penampilan barunya, kemudian dia mencari tahu di mana Kinan berada. 

"Kinan, ada yang mau aku bicarakan." Dengan kikuk, dan pandangan menunduk Anto menyapa Kinan. 

Kinan melihat ada yang aneh. Biasanya Anto sangat ceria dan dengan enteng dia akan menarik tangannya ketika ingin bicara, atau mengajaknya pergi. Tanpa prolog, tanpa minta ijin terlebih dahulu. Yang lebih aneh lagi, pandangan Anto yang selalu tertunduk, seolah tidak berani menatap mata Kinan.

"Di mana?" tanya Kinan cepat 
"Di sini saja," jawab Anto masih dengan tatapan tertunduk

"Kinan, jujur aku kaget dengan perubahan penampilanmu."
"Terus?"
"Tolong jangan potong ucapanku Kinan. Aku kaget, tapi aku ikut senang. Sebulan ini aku memang mencarimu. Kata kawan se-asramamu, kamu main ke rumah pamanmu di daerah Batang. Aku mau menyusul ke sana, tapi tidak tahu alamatnya. Maka aku menunggu. Toh musim liburan ini hanya satu bulan. Tapi tahukah Kinan, ini satu bulan paling menyiksa dalam hidupku. Hari-hariku sudah terbiasa mendengar tawa riang candamu, dan dengan tiba-tiba saja kamu menghilang. Aku minta maaf kalau selama ini aku tidak pernah mengatakan perasaanku kepadamu."

"Cukup Tok," Kinan berusaha memotong lagi.
"Please Kinan, ijinkan aku menyelesaikan perkataanku. Jujur saja, selama ini aku merasa gamang. Di satu sisi aku senang bersamamu. Aku tahu kok omongan orang mengenai kita. Dan aku juga merasakan tanda-tanda suka darimu. Aku juga suka kemanjaanmu. Aku menikmati itu semua. Singkatnya saja, aku juga memendam rasa suka kepadamu. Tapi hatiku belum sembuh. Sebelum aku masuk kampus ini, cewek yang aku sayangi tetiba saja meninggalkanku, ketika dia tidak berhasil menembus UGM. Dia hanya mengatakan bahwa, aku akan menemukan penggantinya di kampus ini. Dan dia setengah benar. Ketika pertama mendengar kamu bernyanyi, seolah aku telah menemukan gadisku yang hilang. Tapi aku segera tersadar, kamu bukan dia. Ada perbedaan mendasar pada penampilan kalian. Dia berambut panjang, sementara kamu lebih suka dengan potongan model Conny Dio-mu. Kamu tidak salah Kinan. Tidak adil untukmu, jika kemudian aku berpacaran denganmu hanya sebagai penggantinya. Aku memang suka kamu, tapi menyadari perubahanmu ini, sepertinya aku harus merelakanmu. Aku janji tidak akan menarik-narik tanganmu lagi. Aku janji tidak akan menatap dirimu seperti dulu lagi. Aku malu dengan diriku yang masih seperti ini. Selamat untuk hijrahmu ini. Aku punya sebuah kenang-kenangan untukmu." Anto mengakhiri ucapannya setelah mengangsurkan sebuah amplop kecil. 
"Assalamualaikum," pamit Anto sambil menangkupkan kedua tangannya di dada. 
***

"Apa isi amplop itu Bu?" tak sabar anak gadis Kinan mengejar ingin tahu
"Sabar dikit kenapa sih Kak. Kepo amat?" Sambil menghela nafas Kinan sengaja menggoda anak gadisnya. 

Dan setelah meneguk satu dua tetes air mineral, Kinan melanjutkan ceritanya. 

Sesampai di asrama, tanpa membuka pakaiannya, langsung saja Kinan mencari tahu apa isi bingkisan kecil dari Anto. Dan karena terburu-buru membuka amplop itu, sebuah benda kecil terjatuh ke lantai. "Ting..!" Nyaring sekali bunyinya. 

Kinan melihat sebuah bros dengan bahan kuningan berwujud lafaz Allah. Indah sekali. Dengan hati-hati, karena tak ingin terjatuh lagi, Kinan mengambil bros itu dan memasang pada hijab lebarnya. Berkilauan bros itu terlihat dari cermin. Entah kenapa, hati Kinan menjadi berbunga-bunga lagi. 

Kemudian Kinan menengok lagi isi amplop kecil itu. Ada sepotong kertas berisi pesan pendek dari Anto. "Maha Suci Allah yang telah menunjukkanmu jalan yang lebih indah"

NB: Bros ini sengaja aku pesan tadi pagi di Malioboro, begitu aku mendengar kabar perubahanmu. Meski aku bukan pacarmu, aku akan tetap menjagamu. Anto. 
---

"Ayah tahu mengenai bros itu Bu?" Anak gadis Kinan mencoba menyelidik
"Apa sih Kakak ini, kepo melulu? Lanjutkan enggak nih ceritanya?" Pura-pura Kinan mengancamnya.
"Iya Bu. Aku janji tutup mulut, sampai cerita ibu selesai." Anak gadis Kinan membuat isyarat mengunci mulut, kemudian membuang kunci tersebut. 

Kinan tertawa sejenak, kemudian melanjutkan ceritanya. 
"Tentu saja ayahmu tahu Kak. Bahkan dia juga mengenal baik Om Anto kok"

Dengan perubahan penampilannya, tentu saja Kinan tak mungkin meneruskan hobi bermusiknya. Kinan mendengar informasi bahwa Anto juga keluar dari grup band kampus. Meski masih satu fakultas, namun karena beda jurusan, perjumpaan mereka juga semakin jarang. 

Apalagi kesibukan mengerjakan tugas kuliah di akhir masa studi mereka, membuat probabilitas perjumpaan mereka semakin terbatas. Beberapa kali Kinan memergoki Anto berada di mushola Al Adab, masih dengan rambut panjang dan celana sobeknya. Tapi kini dia kuncir rapi rambut tersebut, dan sebuah slayer juga menutup lubang jins di lututnya. 

Sampai suatu malam, beberapa hari menjelang wisuda, Kinan dikagetkan dengan kehadiran Anto di asramanya. Dia tidak sendiri. Dia mengajak seorang kawan dengan perawakan lebih kecil dari Anto. Anto mengenalkan kawannya ini sebagai sahabat barunya. Sahabat yang dikenalnya ketika menjalankan shalat dhuhur di Masjid Mardliyyah. 

Wajahnya seperti memancarkan cahaya, dengan dua tanda hitam di dahinya. Dia memakai baju taqwa dan celana panjang 'ngatung' semata kaki. Matanya menyorotkan keteduhan yang luar biasa. 

Dia adalah mahasiswa teknik sipil semester akhir, yang juga akan diwisuda bersama Angkatan Kinan. 

"Assalamualaikum Kinan. Maaf malam-malam aku bertandang ke asramamu. Aku ingin mengenalkan sahabatku. Namanya Deni. Meski baru kenal, tapi dia banyak membuka wawasanku mengenai Islam. Agama yang aku anut sejak lahir. Dari Deni aku tahu bahwa Islam itu tidak sulit, maka jangan dibuat sulit. Namun Islam juga tidak bisa digampangkan, jadi jangan digampangkan. Semua mesti berimbang. Singkat cerita, dia ini anak sulung di mana orangtuanya sudah sangat ingin menimang cucu. Sementara dia tidak pernah berpacaran atau mengenal wanita secara dekat. Aku jadi teringat kamu Kinan. 
Tujuanku mengenalkanmu dengan Deni hanya satu. Menurutku dia akan mampu menjadi imammu yang sempurna. Tapi semua keputusan ada pada dirimu. Aku akan merasa tenang ketika sudah ada orang tepat yang menjagamu. Bagaimana?" Panjang lebar Anto mencoba menjodohkan Kinan dengan sahabat barunya itu. 

Sebenarnya ada perasaan kesal jauh di lubuk hati Kinan. "Tak sadarkah kau Anto, bahwa aku masih mengharapkanmu," jerit Kinan dalam hati. Tapi demi menyadari ketulusan Anto mengorbankan perasaannya sendiri kepadanya, Kinan mencoba ta'aruf dengan Deni. 

Kinan menerawang lagi mengingat masa lalunya. Kinan menyibak mozaik-mozaik tersebut satu persatu, dan dia kumpulkan semuanya sehingga maujud menjadi satu gambar utuh. Gambar keluarga yang bahagia, dengan Mas Deni sebagai suaminya, dan ayah dari ketiga putrinya. 

Terimakasih Anto, semoga engkau juga berbahagia bertemu dengan gadismu yang hilang itu.

Bogor, Awal Juli 2021
Seperti diceritakan sahabatku beberapa waktu yang lalu

Komentar

Postingan Populer