Sarung Lobok


(Sebuah Cerpen oleh haridewa)

Masjid besar di kampung kami ini masih kelihatan kokoh berdiri meski menurut tetua kampung usianya sudah lebih dari seratus tahun. Seperti layaknya masjid di Indonesia,  masjid besar kampung kami juga bertipe atap dome dengan beberapa bagian khas tanpa sudut. Ben­tuk-bentuk seperti melingkar, melengkung, penggalan arch ring, atau tipe tapal kuda sangat dominan terlihat di nyaris keseluruhan bagian masjid. Empat soko penopang bagian dalam masjid, yang konon terbuat dari kayu nangka, masih bercokok tegar menahan deretan kayu lotengnya.

Dari luar, pagar masjid yang terletak bersebelahan dengan alun-alun desa ini langsung menyuguhkan desain segi lima atau menyerupai pola bintang.

Masuk ke serambi masjid, pola bintang atau segilima tersebut juga dibentuk dari warna-warna susunan keramik lantainya. Pola sudut dan segi itu juga terlihat berjejer di antara pintu-pintu masjid, jika dilihat dari luar bangu­nan.

Jika umumnya pintu masjid mainstream berbentuk seperti pelengkung Venesia, tipe tudor, setengah lingkaran, atau peleng­kung segmental, namun pintu masjid kampung kami justru menyuguhkan bentuk sudut-sudut bersegi. Ibarat kupu-kupu raksasa, beberapa pasang daun pintu berwarna hijau muda menjadi pembatas antara ruang dalam dan ruang luar masjid.

Semua pemandangan ini masih persis sama seperti 36 tahun lalu, ketika pertama kali aku menginjakkan kaki di masjid ini. Saat itu aku masih duduk di bangku SD kelas 3.

Adalah kawanku yang mengajakku untuk pergi ke masjid itu. Pada suatu hari jumat,  seperti biasa aku sedang bermain di depan kantor polisi yang hanya berjarak satu rumah dari rumahku, kawanku tadi lewat bersama beberapa kawan lain mengenakan kain mirip jarik emakku dan berikut dialog kami saat itu,
"Le (panggilanku memang Tole, meski namaku Anto), kamu nggak ke masjid?"
"Mau apa ke masjid?"
"Jumatan"
"Jumatan itu apa?"
"Shalat Jumat, di masjid"
"Kenapa harus ke masjid?"
"Itu kewajiban kita sebagai anak lelaki Le"
"Kok aku nggak pernah tahu ya? Terus kenapa kamu pakai jarik seperti perempuan begitu?"
"Ini bukan jarik Le. Ini sarung. Sarung ini kita kenakan untuk menutup aurat kita"

Kemudian aku pulang dan mulai merengek kepada emak, minta dibeliin sarung. Setengah takjub, campur bingung emak mencoba memenuhi keinginanku. Takjub karena aku memang belum pernah melakukan shalat selama ini, apalagi pergi ke masjid. Emak tidak pernah memaksa aku shalat karena menganggap aku masih kecil.

Emak bingung, karena membeli sarung termasuk sebuah kemewahan tersendiri dalam hidupnya. Emak ingin memberiku sarung terbaik, namun dengan penghasilannya sebagai buruh 'adang-adang' palawija di pasar, membeli sarung bagus merupakan sebuah keabsurdan tersendiri.

Akhirnya,  emak kembali menemui budhe Sarti untuk mengkredit sebuah sarung. Dari jaman baheula sampai sekarang yang namanya kredit tentu menerapkan sistem bunga. Dan yang namanya bunga tidak pernah tidak mencekik leher krediturnya. Alhasil, demi memenuhi keinginan anaknya, emak kembali terjerat dalam lingkaran riba.

Alangkah senang hatiku, ketika hari jumat seminggu setelah jumat perjumpaan dengan kawanku itu, emak memberiku sebuah sarung. Aku melonjak kegirangan, memeluk emak, memeluk sarung itu, dan tercium aroma seperti getah pinus yang syahdu pada sarung itu. Bergegas aku mencoba memakainya, memantas diri seperti laiknya kawan-kawanku yang berangkat ke masjid.

Namun aku kecewa. Sangat kecewa, dan aku berteriak kepada emak. "Maaaak, sarungnya lobok. Kedodoran!"

Tergopoh-gopoh emak menyongsongku, begitu mendengar teriakanku.
"Apanya yang lobok, Le?"
"Ini Mak. Sarungnya kok kegedean. Setiap aku pakai pasti merosot. Tidak seperti yang dipakai sama kawan-kawanku!", aku merajuk dengan masgul.

Anehnya emak malah tertawa terbahak-bahak. Tawanya lama sekali, sampai keriput di sekitar matanya tampak makin jelas. Bahkan airmatanyapun sampai menetes. Belum pernah aku melihat emak tertawa selepas ini. Dalam masgulku, aku bingung, kenapa emak malah menertawakan aku, bukan segera menukar sarung lobok ini kepada budhe Sarti.

Masih sambil tertawa tertahan, emak menjelaskan dan membantuku mengenakan sarung itu.
"Oalah Le, Le, maafkan emakmu ini yang alpa mengajarkanmu tatacara peribadatan, termasuk cara mengenakan sarung. Memakai sarung itu tidak seperti memakai celana, setelah kaki masuk kemudian dikancing. Memakai sarung memiliki filosofi tersendiri. Pertama, pastikan bagian yang berwarna lebih gelap berada di bagian belakang. Sarung ini mesti dilipat di bagian depan, kiri dan kanan kemudian digulung seperti ini.  Nah, selesai sudah. Ganteng!"

Aku cuma bisa cengar-cengir sendiri, kemudian bergabung dengan kawan-kawanku menuju masjid.
***

Hari ini, ramadhan hari ke duabelas, aku kembali memasuki masjid besar kampung kami setelah 36 tahun absen. Setelah menunaikan shalat tahiyatul masjid, sambil menunggu adzan isya, aku mengambil tempat duduk favoritku, yaitu di bagian dalam masjid, di bawah tangga kayu menuju loteng, sembari berdzikir. Baru beberapa saat mulutku merapal tasbih, tahmid serta tahlil, tetiba saja datang sebuah gelombang haru yang sangat dahsyat menggedor-gedor kalbuku. Tak tertahankan lagi airmataku tumpah bak tsunami yang meluluhlantakkan Aceh beberapa tahun yang lalu. Aku merasa sedang berada dalam sebuah pusaran waktu. Masjid besar kampung kami ini masih tetap tegar tegak berdiri, di sini, di pusat kampung kami, tanpa ada perubahan yang nyata, sementara diriku telah terpental jauh ke dalam retorika kehidupan yang sangat fana.

Terbayang pengembaraanku di ibukota yang sangat melenakan aqidah. Carut marut persaingan dalam mendapatkan rejeki yang kadang tak hirau lagi mana bathil, mana haq.  Pencapaian karirku sangatlah fantastis, berkembang dengan pesat, mendesak sesiapa saja yang menghadang. Masih tergambar jelas, ibarat layar lebar sedang mengunggah film andalannya, perjalanan yang aku tempuh sampai negeri jiran, Singapore, Guang Zhu, Perth, New York, Paris demi mengejar  jenjang karir yang semu semata. Nyaris setengah dunia sudah aku jajahi, dan masjid besar kampung kami masih tetap istiqomah dengan kesederhanaannya.

Tiba-tiba terngiang di gendang telingaku, menusuk nusuk. Kepalaku makin tertunduk dalam-dalam, khusyuk. 
Fa-biayyi alaa’i rabbi kuma tukadzdzi ban. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Dan airmataku makin membanjir tanpa bisa aku tahan lagi.
***

Mengenakan sarung baruku, aku sekarang makin rajin datang ke masjid. Pada bulan ramadhan, aku dan kawan-kawan akan bejubelan memenuhi serambi masjid untuk menunaikan shalat tarawih. Namanya juga anak-anak tentunya kami juga senang bermain di masjid itu. Kadang kami berlarian, tak lupa sambil berteriak-teriak penuh sukaria. Tak jarang pula kami dorong-dorongan ketika sholat, atau ketika duduk mendengarkan ceramah. Kami hanya akan terdiam dan duduk manis ketika Lik Biki, takmir masjid besar kampung kami yang terkenal galak itu muncul sambil menenteng sorban yang siap disabetkan kepada sesiapa saja yang masih berani berulah. Saat itu kami berada dalam situasi ngeri-ngeri sedap berharap sorban itu tidak mampir di kepala kami. Maka kami akan bergerak liar lagi ketika merasa monster itu telah melewati barisan kami.

"Prrettt!", tetiba saja kepala ini terasa pedas. Mata perih agak berkunang. Rupanya sorban Lik Biki mampir di kepalaku dengan lumayan keras. Sambil menahan sakit, aku langsung memperbaiki posisi dudukku. Duduk manis sempurna tanpa berani bahkan melirik kiri kanan. Berharap malaikat maut itu segera sirna.

Semenjak insiden kepretan sorban itu aku menaruh dendam kepada Lik Biki. Memang ketika dia berada di sekitarku, aku langsung duduk manis. Bersila seperti seorang fakir yang sedang bertapa. Namun jauh di relung hatiku, ada niat untuk membalas perbuatannya kepadaku. Aku tahu niatnya baik, namun cara-cara anarkis seperti itu tidak boleh dibiarkan terus berlangsung.

Suatu hari selepas sahur, aku dan kawan-kawan sudah berhamburan menuju masjid untuk menunggu waktu shalat subuh. Ketika memasuki serambi masjid, aku melihat Lik Biki sedang menjalankan shalat di pojok masjid, tepat di sebelah bedug besar. Tiba-tiba saja niat jahat membalas dendam muncul dalam benakku. It's pay back time. Aku minta kawan-kawan menunggu di bawah tangga, sementara aku mengendap-endap menuju tempat Lik Biki shalat. Dari memasuki serambi masjid tadi aku sudah melihat tongkat  pemukul bedug yang terselip pada kaki-kaki penyangga bedug. Aku ambil tongkat tadi dan menunggu moment yang tepat untuk membalas dendam. Dan ketika Lik Biki melakukan sujud akhir, yang biasanya dilakukan sangat lama, dengan hati-hati aku letakkan tongkat tadi secara melintang pada bagian belakang lututnya. Sedikit lebih ke atas dari betisnya. Kemudian aku berlari sambil bersijingkat ke bawah tangga berkumpul dengan kawan-kawanku.

Masing-masing dari kami memasang telapak tangan di telinga. Menunggu sebuah suara dari arah pojok masjid. Dan benar saja, beberapa waktu kemudian terdengar jeritan Lik Biki,  "Wadaaaw!" tentu sakit sekali rasanya ketika tongkat kayu keras itu terjepit di belakang lututnya, dihimpit pula oleh badannya yang tambun itu. Dan kami berusaha menahan tawa sambil membekap mulut sendiri dan memegangi perut. "Xixixixixixi!"
***

"Le, bangun Le, sudah adzan Isya", suara seseorang yang sangat familiar di telingaku membangunkanku. Rupanya aku terlelap ketika berdzikir tadi. Dan sungguh aku sangat terkejut ketika mengenali sosok yang telah menyadarkanku dari mimpi singkat tadi. Dia adalah Lik Biki! Meski sudah 36 tahun tidak bersua, karena sejak insiden tongkat bedug itu, aku memang tidak berani datang ke masjid lagi, namun aku langsung bisa mengenalinya lagi. Tubuhnya sudah tidak setambun dulu, rambutnya juga sudah memutih semua, namun garis wajahnya yang keras, serta sorban yang melingkar di lehernya tidak akan pernah lekang dari ingatanku.

"Eh, anu, ngg mmakasih Lik Biki", tergeragap aku menyapanya. Aku tenggelam dalam penyesalan masa silam yang luar biasa melesak. Konon kabarnya gegara insiden tongkat bedug itu, Lik Biki mengalami cedera lumayan parah. Rupanya dia mengidap asam urat, yang saat itu tepat tertimpa tongkat dan berat tubuhnya. Maka selama beberapa waktu bahkan Lik Biki mesti berjalan terpincang-pincang.

"Aku sudah memaafkanmu kok Le. Maafkan juga sabetanku waktu itu ya Le. Aku senang kamu sudah kembali ke masjid ini. Pesanku, jangan pernah kamu tinggalkan masjid lagi. Allah berfirman dalam QS. An-Nur: 36-37, Bertasbihlah kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya pada waktu pagi dan petang, orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan, dan tidak (pula) oleh jual-beli, atau aktivitas apapun dan mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, membayarkan zakat, mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang. Dan sekarang, mari kita segera jamaah shalat isya", seolah membaca penyesalanku, Lik Biki memberiku beberapa petuah. Bagai kerbau dicucuk hidungnya, aku segera berjalan mengekor Lik Biki menuju mihrab.
***

Sesampai di rumah aku menceritakan perjumpaanku dengan Lik Biki kepada emak. Tentu tanpa menceritakan kenakalanku beberapa puluh tahun yang lalu itu.
"Lik Biki yang mana maksudmu Le?"
"Yang galak itu lho Mak. Yang pernah nyabet aku dengan sorbannya"
"Kamu yakin itu Lik Biki?", emak mengernyitkan dahinya tak percaya.
"Yakinlah Mak. Meski berkacamata tapi penglihatanku masih sangat jelas", ujarku meyakinkan
"Tapi itu tidak mungkin Le"
"Tidak mungkin karena apa Mak. Sebuah hal yang wajar kan bertemu takmir masjid, meski sudah mantan, di masjid besar kampung kita?", aku masih ngeyel, mencoba meyakinkan
"Masalahnya Lik Biki sudah meninggal seminggu yang lalu, Le. Sebelum kamu pulang ke kampung kita ini", jawab emak lirih.

Mendengar penjelasan terakhir emak, aku terduduk lemas. Kilatan-kilatan peristiwa masa silam kembali muncul di benakku laksana mozaik alam semesta yang tersusun sangat akurat. Mungkin setengah jatah usiaku sudah aku lalui, dan aku merasa perjalananku masih sangat jauh dari tujuan. Aku ingat petuah yang disampaikan Lik Biki malam tadi, dan aku berjanji dalam hati. "Baik Lik Biki, aku tidak akan pernah meninggalkan masjid lagi. Akan aku makmurkan rumah Allah itu, selama hayat masih dikandung badan"

Lereng Gunung Prahu
Ramadhan hari ke 12, 1439 H

Catatan:
- Dome : kubah
- Lobok : kedodoran, longgar
- Adang-adang: semacam pengepul, namun dengan modal kecil
- Tole : panggilan kesayangan anak lelaki di Jawa
- Mbah : singkatan dari kata Simbah yang artinya Kakek
- Lik : singkatan dari kata PakLik yang artinya Om atau Mamang
- Arch ring : busur lingkaran
- Soko: pilar
- Jarik: kain kebaya

Komentar

Postingan Populer