NGOROK



(A  hypno-story by haridewa)


Kau kembali terbangun. Duduk di samping tempat tidur dengan wajah tertekuk. Kau merasa kesal. Sangat kesal. Suara dengkur suamimu benar-benar telah menghancurkan keindahan tidur malammu. Meluluh lantakkan semua mimpi yang pernah dan akan kau reguk bersama kerlip gemintang di langit malam. Kau tengok suamimu yang lelap dalam
tidurnya. Kelopak matanya yang terpejam itu kadang tergerak. Mungkin dia sedang memimpikan suatu kenangan. Mulutnya agak terbuka, dan hidungnya terkembang kempis. Dari sanalah bunyi yang sangat keras itu bersumber. Kadang seperti suara chainsaw. Di lain waktu mirip bunyi motor besar. Bahkan kadang terdengar seperti suara babi.


Rrrrrrrrrrrrrr........ 
Bbbrrrruuuuummmmmm.......   
Grrrrroooookkk!!

Sangat keras. Sangat mengganggu. Kau coba untuk kembali tidur. Kau miringkan tubuh langsingmu, kau tutup telingamu dengan bantal. Kau tekan kuat kuat. Tapi aneh, makin kuat kau tekan bantal itu, serasa makin dalam suara dengkur itu  menggelitik telingamu. Menghujam dalam. Langsung ke gendang telinga. Menusuk nusuk selaput tipisnya. Akhirnya kau kembali bangun. Duduk di samping tempat tidur dengan wajah yang makin tertekuk. Kusut. Yang kau heran, suamimu seperti tak pernah merasa terganggu oleh suara bising itu. Dia tetap tenang dalam tidurnya. Lelap. Ingin rasanya kau bekap wajah suamimu dengan bantal. Atau kau jepit hidungnya dengan jepitan jemuran. Atau kau tutup mulutnya dengan lakban. Tapi kau tak tega. Kau tak bisa. Kau tahu suamimu sudah cukup tersiksa siang tadi. Bekerja keras membanting tulang untuk mengepulkan asap dapur keluarga kalian. 

Sebagai fieldforce -ujung tombak- perusahaan, tentunya suamimu harus selalu mengelilingi kota ini dalam tugasnya menjual produk-produk yang dibawakannya. Berkeliling kota
dengan luas mendekati 118,5 m2 mengendarai sepeda motor pasti sangat melelahkan. Karena lelah itulah makanya tidurnya menjadi sangat pulas. Dan kata orang, mendengkur adalah tanda dari sebuah kepulasan tidur. Tidur yang sempurna.
***

Lebih kurang tiga bulan sudah kau menjadi istrinya. Tiga bulan pula kau menjadi kurang tidur. Karena malam-malammu lebih banyak terisi dengan perjuanganmu membekap telinga. Menumpulkan indera dengar. Meniris konsentrasi menuju lena. Namun selalu tanpa guna. 
Badan membalik ke kanan. Rrrrrrrrrrrr.... 
Membolak ke kiri. Brrruuummm.
Menelentang. Ggrrrrroookkkk. 

Ketika kau mulai mau terkulai. Ketika kelopak matamu mulai membeton. Adzan subuh sudah mengumandang. Melengking menembus langit pagi. Tergeragap kau berusaha melawan kantuk yang baru sekejap kau tunaikan kehendaknya. Kembali kau duduk
di samping tempat tidurmu. Dan suamimu masih tetap lelap dalam dengkurnya. Tak mungkin kau kembali ke dalam hangat selimutmu. Tak sanggup kau acuhkan lengking adzan itu. Meski kau ingin, sangat ingin, namun kau punya kewajiban yang harus segera ditunaikan. Kau harus bersegera mendirikan shalat subuh. Karena shalat lebih utama ketimbang tidur. Dan kau juga harus segera menjerang air, sebentar lagi suamimu
bangun. Dan saat itu di meja harus sudah tersedia secangkir kopi.

Alhasil, meski dengan mata yang memerah menahan kantuk, kau beranjak ke belakang untuk menunaikan kewajibanmu sebagai istri. Istri. Kadang kata itu masih terdengar aneh di telingamu. Bahwa kau kini telah menyandang predikat itu dengan sebenar-benarnya, setelah tiga bulan yang lalu kau menerima pinangan dari Kang Zul, lelaki yang kini menjadi suamimu. Taaruf dengan Kang Zul pun terjadi begitu cepat. Seumpama kilat yang memancar di angkasa, dan jeleger, pohon kelapa di samping rumahmu sudah hangus, terpanggang lantak. Tak terasa setahun sudah kau arungi bahtera rumah tangga bersama Kak Zul. Dan waktu setahun ternyata cukup bagimu untuk menikmati raungan
malam dari suamimu. Suara dengkuran itu bahkan sekarang seolah menjadi bumbu mimpi-mimpi malammu.

Kau telah dikaruniai seorang bayi perempuan mungil yang hidungnya penuh komedo. Bak bintang di kegelapan malam, komedo itu bersinjingkat memenuhi hidung bayi mungilmu. Dagunya bulat seperti telur puyuh, menurun sempurna dari dagu ayahnya.  Sebenarnya lengkap sudah kebahagiaanmu bersama Kak Zul. Anehnya ketika seluruh lini kehidupanmu nyaris sempurna seperti itu, entah mengapa kau menjadi temperamen dan mudah spaning ketika menghadapi Kak Zul. Di matamu apapun yang dilakukan Kak Zul merupakan sebuah kesalahan.

Kak Zul nonton TV, kau marah.
Kak Zul baca buku, kau marah.
Kak Zul masuk kamar mandi, kau marah.
Kak Zul urung mandi, kau makin marah.
Kak Zul tidur mendahului dirimu, kau marah. 
Kak Zul menunggu dirimu tidur duluan, kau makin marah.

Kau hanya terdiam tak berkutik ketika Kak Zul sudah mulai mendengkur lagi. 
Grroook.
Rrrrrrrr. 
Brrruuum.

Seolah menyesali perbuatanmu, kau elus penuh rasa sayang kepala suamimu itu sambil menikmati irama dengkurannya yang khas tadi.
Bbrruuuummmm. 
Rrrrr. 
Grrroook....
***
Namun semua akan berubah lagi begitu adzan subuh berkumandang dan mata suamimu mulai terpicing. Ketika dia masuk kamar mandi untuk berwudhu, kau kesal. Ketika dia shalat meninggalkanmu, kau kesal. Bahkan ketika dia mendoakanmupun kau tetap kesal. Hal seperti ini berulang dan berulang setiap hari, namun suamimu tetap saja tersenyum dan
menyayangimu tanpa pernah protes sekalipun. 
Alih-alih mereda, kekesalanmu bahkan kian menjadi-jadi saja. Kesal dan marah itu kini telah menjelma menjadi benci. Ya, benci seperti seorang musuh kepada bebuyutannya. Kemarahan itu termanifestasi dalam teriakan keras setiap hari.

Kak Zul pulang telat, kau teriak. Mampir kemana!
Kak Zul pulang awal, kau teriak. Mampir dari mana! 
Kak Zul pulang bawa martabak, kau teriak. Boros!
Kak Zul pulang tangan hampa, kau teriak. Pelit!

Duh, kenapa jadi begini ya. Kau sendiri kebingungan dengan tingkahmu yang makin anarkis itu. Lewat pengajian yang rutin kau ikuti seminggu tiga kali, kau tahu bahwa apa yang kau lakukan itu merupakan sebuah dosa besar. Namun apa daya dorongan untuk berkonfrontasi dengan suamimu makin lama makin kuat. Bahkan teriakan dan makianmu kian tak terkendali.

Lampu teras lupa dimatikan pagi hari. Ceraii!
Lampu teras belum dinyalakan sore hari. Ceraii!
Ban motor gembos. Ceraii!
Ledeng bocor. Ceraii!
Anak mencret. Ceraii!
Tetangga nyolong kembang. Ceraii!
Kucing beol di teras. Ceraii!
Tukang sayur lupa bawa terasi. Ceraii!
Kau menstruasi. Ceraii!

Suamimu bergeming. Senyumnya tetap tersungging. Sebentar kemudian kepalanya mulai miring, dan grroook. Rrrrr. Bbrruuum.  Kau pandangi lagi wajah lelah suamimu, lalu kau selimuti tubuhnya dan mulai kau elus kepalanya penuh rasa sayang.
***

Minggu pagi, seperti biasanya Kak Zul berolah raga dengan berlari mengitari komplek perumahan kalian, dan kau membereskan rumah serta menyiapkan sarapan untuk kalian bertiga. Pagi itu Kak Zul pulang bersama seorang laki-laki berperawakan kecil namun memiliki wajah bersinar dan pandangan mata tajam. Pada dahinya tergores dua titik
hitam tebal, menandakan pemuda ini rajin mengadu dahinya dengan sajadah di sepertiga malam demi menemui junjungan hatinya.

"Mi, ini tadi Abi ketemu kawan lama di jalan. Ternyata dia juga tinggal komplek kita ini. Maaf ya Mi, tadi Abi ngobrol-ngobrol sama dia, dan menurutnya dia tahu apa yang sedang Umi alami", Kak Zul menjelaskan kenapa pagi itu dia mengajak kawan. Aneh, ketika ada orang lain seperti ini, perasaanmu terhadap suamimu biasa saja. Tidak ada rasa marah, kesal ataupun benci. "Menurut kawan Abi ini, sekarang ini Umi sedang disukai oleh makhluk ghaib, lebih tepatnya ada jin laki-laki yang menyukai Umi. Itulah alasan kenapa akhir-akhir ini Umi jadi sering spaning kepada Abi. Jin tadi sengaja memprovokasi Umi agar berpisah dari Abi. Sehingga kalau hal itu terjadi, maka dia akan bisa memiliki Umi", Kak Zul melanjutkan penjelasannya.
"Astaghfirullahal adziim. Naudzubillah min dzaliik. Umi tidak mau seperti itu Abi. Terus apa yang mesti Umi lakukan?",  dengan penuh ketakutan kau memegang lengan suamimu.
"Kawan Abi ini seorang pe-rukyah. Jadi nanti dia akan mencoba merukyah Umi. Mau khan Mi?",  Kak Zul memperkenalkan kawannya sekalian membujuk dirimu agar bersedia dirukyah.  "Baik Bi", kau hanya menjawab lirih. Pasrah.
***

Seminggu berlalu dari prosesi rukyah itu. Bukannya mereda, temperamenmu malah kian menjadi. Kalau dulu hanya kekerasan verbal yang kau lakukan, kini kau bahkan mulai main fisik. Subuh kemarin kau tendang pantat suamimu, gegara dia tak menunggumu untuk shalat jamaah. Tadi malam kau siram kopi panas ke kepala suamimu, ketika dia terlambat pulang. Seolah tangan dan kakimu bergerak sendiri tanpa bisa kau kendalikan lagi. Kabar terakhir bahkan kawan Kak Zul yang merukyah dirimu mengalami sakit keras sepulang dari rumahmu. Menurutnya jin yang menyukai dirimu terlalu kuat untuk dilawan. Toh Kak Zul tak merubah sikapnya padamu. Dia tetap menyayangimu. Bahkan dia menuliskan sebuah puisi indah untukmu.

Bukan Cinta Karena

cintaku bukanlah cinta karena
karena kau cantik
karena kau baik
karena kau mulus
karena kau tulus,

cintaku yalah cinta walaupun
walaupun kau galak
walaupun kau tak berbedak
walupun kau egois
walaupun kau tak lagi erotis,
ku-kan tetap mencintamu
apapun balasanmu...

***

Kau bingung mesti bersikap apa. Nyatanya kau selalu sayang kepada Kak Zul ketika dia sedang terbang ke pulau kapuknya. Alunan yang keluar dari rongga hidung akibat jalan nafas tertutup oleh pangkal lidah itulah yang selalu berhasil menenangkanmu. Di luar itu, kau akan selalu spaning. Teriak. Marah. Kesal. Ceraii!
***

Sore itu Kak Zul pulang lebih cepat dari biasanya. Dan sebelum kau mulai serangan verbal dan non verbalmu, dia langsung menyuruhmu untuk berganti pakaian untuk makan malam di luar. Segera digendongnya si kecil, agar kau bisa langsung berdandan. Sementara Kak Zul mengganti baju si kecil. Dengan kecepatan sedang dan penuh perhitungan, suamimu
mengendara motornya membawa kalian menuju ke sebuah cafe yang lumayan ramai. Kau baca nama cafe itu agak aneh, namun kau hanya simpan keanehan itu di hati. Cafe Therapy. 

Begitu masuk ke dalam cafe, kalian disapa oleh seorang pria paruh baya yang lumayan nyentrik. Dia mengena jins hitam dengan t-shirt hitam bergambar seperti logo Harley Davidson, namun kata yang membingkai tulisan Harley Davidson itu bukanlah
moto-cycle melainkan psiko-therapist, tercetak dengan gagah dengan tinta emas. Rambutnya agak panjang sebahu yang ditutup dengan sebuah topi fendora layaknya seorang penyanyi jazz. “Perkenalkan nama saya David, silakan masuk. Baru pertama singgah di Cafe Therapy ya. Mau duduk lesehan di luar, atau memilih tempat di dalam yang ber AC?”, sapa lelaki tersebut ramah dan penuh perhatian. Kau kitarkan
pandanganmu ke sekeliling cafe tersebut. Ruang cafe itu tidak terlalu besar, namun terkesan lapang karena penataan interior yang apik. Bagian luar terdapat ruang untuk lesehan dengan delapan meja kecil yang tersusun rapi. Di atasnya tergantung tudung lampu temaram yang membuat suasana cafe semakin syahdu. Pada bagian dalam terdapat ruang
ber AC yang terdiri dari 5 meja putih dengan masing-masing dilengkapi oleh 4 kursi warna warni. Dinding kiri ruangan dalam itu tertutup gambar menara Pisa dengan tulisan Cafe Therapy, melengkung di langit Italianya. “Terima kasih sambutannya Pak David, perkenalkan saya Zul, dan ini istri serta putri kami. Jika masih tersedia, kami memilih untuk duduk di dalam saja Pak”, suamimu membalas sambutan lelaki paruh baya tadi sambil memilih untuk duduk di dalam saja.

“Andre, tolong layani keluarga Pak Zul ini dengan baik ya”, Pak David memanggil seorang waiters untuk melayani keluarga kalian. “Baik Pak Zul, Andre akan membantu Bapak. Jika Bapak membutuhkan saya, saya ada di sekitar Bapak kok”, seolah dia tahu tujuan kedatangan kalian ke cafe tersebut. Setelah menerima buku menu dari waitres, kau mulai
membolak balik beberapa halamannya untuk memilih menu yang cocok. Meski mengenali nama beberapa jenis makanan di situ, namun kau merasa bingung setengah takjub. Dengan penasaran, akhirnya kalian memesan juga  mie goreng anti klenik, pempek anti gendam, hypnotic burger, black magic coffee dan es teh anti pelet.
***

Ketika makan malam kalian telah selesai, tiba-tiba Pak David menghampiri meja kalian. “Bagaimana Pak dan Ibu Zul, apakah Bapak dan Ibu mendapatkan pengalaman baru di cafe kami ini?”, sapanya tetap dengan keramahan dan senyum yang terjaga. “Luar biasa Pak David.
Terima kasih atas keramahtamahan dan layanan yang amazing dari cafe Bapak ini. Selain makanannya enak, kami juga banyak mendapatkan ‘sesuatu’ dari tulisan-tulisan di dinding cafe ini, tulisan di nomor meja, bahkan tulisan motivational di buku menu tadi. Dan sebenarnya selain untuk makan malam, sebenarnya saya, tepatnya istri saya,
membutuhkan bantuan Bapak”
, setelah menjawab pertanyaan Pak David, tiba-tiba saja Kak Zul mengalihkan pembicaraan yang tentu membuatmu kaget. Apa maksud bahwa dirimu membutuhkan bantuan lelaki nyentrik ini. Memangnya siapa dia, dan apa kemampuannya kok bisa-bisanya tetiba saja Kak Zul minta bantuan kepadanya. “Baik Pak Zul, terimakasih atas kepercayaan Anda. Dan agar lebih nyaman bagaimana kalau kita pindah ke ruang depan itu”, jawab Pak David sambil mengarahkan telunjuknya ke ruang di depan meja kalian. Sebuah ruang berdinding kaca bertuliskan ‘Ruang Konsultasi’. Sebenarnya sedari tadi kau sudah melihat ruang tersebut, hanya kau tak paham kenapa di dalam cafe kok terdapat sebuah ruang konsultasi. “Dan ibu Zul, saya ini adalah seorang psikoterapis profesional yang biasa membantu orang yang memiliki gangguan pada pikiran mereka”, lanjut pak David sambil mengajak kalian memasuki ruang konsultasi itu. Deg, jantungmu berdegub kencang, menyadari seolah pikiran keraguanmu telah terbaca oleh Pak David.
***

Setelah mendengarkan cerita dari Kak Zul dan juga beberapa pengakuan dari dirimu, Pak David bertanya kepada dirimu, “Baik Ibu Zul, seandainya nanti malam ketika Ibu tertidur terjadi sebuah keajaiban, kira-kira bisakah digambarkan besok pagi kondisi Ibu itu seperti apa?” Kau menarik nafas sejenak. Bola matamu melirik ke kiri sejenak, kemudian berganti ke kanan atas, dan kembali ke kiri atas untuk kemudian menjawab, ”Saya bisa kembali seperti dulu lagi. Menyayangi suami saya, tanpa reserve. Patuh serta hormat kepadanya untuk selamanya”
“Bagus. Ibu bersedia saya bantu?”
“Bersedia”

Beberapa waktu berselang, kau masih ingat kau diminta untuk duduk di sebuah kursi malas dan diminta untuk menarik nafas dari hidung serta mengeluarkan dari mulut. Setelah itu kau mengalami perasaan yang sangat aneh. Tubuhmu terasa sangat ringan dan kemudian melayang. Kau melihat tubuhmu sedang terbaring di kursi malas, di ruang konsultasi
itu, untuk kemudian, plasss, sebuah cahaya putih yang sangat menyilaukan menyambar tubuhmu dan membawamu ke suatu tempat. 
Tunggu dulu, sepertinya kau sangat mengenal tempat itu. Meski sudah lama kau meninggalkan tempat itu, namun perasaanmu pada tempat itu masihlah sangat kuat. Tetiba saja kau menggigil, bahkan gigimu sampai
bergemeretak. Bukan karena kedinginan, namun karena memendam amarah
sangat sangat dalam. Belum sempat kau lampiaskan kemarahanmu tadi, kau melihat di depan sana seorang perempuan yang sedang mengandung sedang memukul-mukul perutnya sendiri sambil berteriak-teriak, “Mati saja kau, mati saja. Biar Bapakmu puas. Aku benci kamu. Gara-gara kamu, aku jadi begini. Dasar pecundang!”

Dengan cepat adegan itu berlalu, dan sang bayipun terlahir di dunia. Perilaku sang ibu bukan berubah menjadi welas asih, namun makin menjadi-jadi saja. Seringkali bayi itu
kelaparan dan kedinginan, namun dengan teganya si ibu membiarkannya. Di saat kritis itu biasanya datang sang ayah yang langsung memberikan susu botol dan menidurkannya sampai dirinya ikut tertidur dan terdengar suara grrook, rrrrr, brrruuum.

Dan tetiba saja kau merasa pusing yang sangat luar biasa. Kepalamu serasa ditancapi oleh ribuan jarum sebesar tusuk sate. Rasanya tak kuat lagi kau merasakan penderitaan itu, kalau saja kau tidak mendengar suara Pak David, “Dan dalam hitungan ketiga, silakan buka
mata Anda dengan membawa perasaan segar bugar, sehat dan penuh kebahagiaan...”

***

“Baik Pak Zul, Bu Zul, rupanya Ibu Zul mengalami traumatik ketika bayi, karena sering ditelantarkan oleh ibunda. Dan traumatik terpicu kembali ketika Ibu melahirkan puteri Ibu ini. Metastase dari traumatik Ibu adalah pelampiasan kepada suami, seperti pencetus kemarahan ibunda Ibu Zul waktu itu, yaitu kemarahan kepada suaminya, atau ayahanda Ibu Zul, entah karena alasan apa. Adapun suara dengkuran Pak Zul yang selalu mampu mengalahkan kemarahan Ibu Zul, karena rupanya sama dengan suara dengkuran ayahanda Ibu Zul yang selalu menjadi dewa penyelamat ketika Ibu Zul ditelantarkan oleh ibundanya”, panjang lebar Pak David menjelaskan fenomena yang baru saja kau alami. “Solusinya adalah, bersediakah Ibu Zul memaafkan ibunda, ayahanda, suami, lingkugan dan
diri sendiri?”,
Pak David memberikan sebuah solusi yang bakal mampu mengatasi situasimu tersebut.

Kau diam tertegun. Mengingat masa kecilmu yang memang sangat kelabu. Tak terasa sebutir air matamu menetes di pipi. Berat rasanya memaafkan orangtua sendiri yang justru telah menelantarkannya. Bukankah tugas orang tua adalah melindungi anaknya, apapun masalah yang terjadi di antara mereka. Bukankah anak-anak itu tidak pernah meminta dilahirkan, kalau hanya untuk ditelantarkan dan disiksa. Tangismupun pecah tak
tertahankan lagi. Untung suamimu sigap langsung mendekap dan menenangkan dirimu. “Sabar ya Umi. Kalau memang Umi belum siap memaafkan, juga tidak mengapa. Abi bisa paham kok situasinya

Mendengar bujukan suamimu tadi, justru tangismu makin kencang. Yang kau ingat
sekarang adalah perlakuanmu terhadap suamimu belakangan ini. Kau ngeri membayangkan jika sampai suamimu ini tak ridho akan perlakuanmu, maka neraka jahimlah tempat kembalimu. “Enggak Abi. Umi siap melepas dendam ini. Demi Abi, demi anak kita, demi kebahagiaan kita, Umi iklhas memaafkan semuanya. Maafkan juga perilaku Umi selama ini ya Abi”, sesenggukan kau berikrar untuk melepas semua dendam yang selama ini
ternyata masih bersemayam rapi di dasar kalbumu.

Dipandu oleh Pak David akhirnya kau lakukan prosesi pelepasan dendam masa lalu tadi.
“Aku sayang pada diriku sendiri. Yang berlalu biarlah berlalu. Masa depan lebih penting. Hai diriku, tetaplah tersenyum. Tetaplah bahagia. Aku melihat diriku yang ceria itu. Aku melihat diriku yang bahagia itu. Itulah diriku yang sesungguhnya. Aku ingin kembali. Kemanakah aku selama ini? Aku sangat berharga. Aku ini diinginkan Tuhan. Masa
depanku penting. Keluargaku penting. Hidupku ini sangat penting. Hal-hal yang tidak penting tidak boleh mengganggu aku. Perasaan-perasaan tidak berharga aku letakkan, aku tinggalkan. Aku maafkan ibundaku, aku maafkan ayahandaku, aku maafkan suamiku, aku
maafkan lingkunganku dan aku maafkan diriku sendiri. Demi kebahagiaanku, demi ketenangan hidupku, aku ikhlaskan masa laluku. Bukan aku kalau tidak lkhlas. Aku letakkan. Aku lepaskan agar ringan langkahku. Agar sehat badanku. Agar indah masa depanku. Ya Tuhan mudahkanlah bahagiaku semudah nafasku. Hai diriku, tetaplah
tersenyum, tetaplah bahagia”

Berbeda ketika dirukyah dulu, dimana kau tidak merasakan perubahan apapun, pasca prosesi kali ini kau merasakan dadamu lega. Perasaanmu ringan, dan anehnya setiap melihat Kak Zul, rasa sayang dan cintamu seolah membuncah menjadi berlipat ganda saja adanya. Sudah tak sabar kau ingin mendengar alunan merdu symponi pulau kapuk itu.
Grroook.
Rrrrrr.
Brruuuum.

Tabik

-haridewa-

Komentar

Postingan Populer