LURUH


Setelah sekian tahun mendekam di dasar laci meja belajar usangku, di kamarku yang sekarang sudah di take over oleh adikku, kutemukan sepucuk surat dengan cap pos Yogyakarta. Sebuah amplop kecil bertuliskan par avion, melalui udara. Meski sebenarnya amplop itu tak pernah benar benar terbang bersama pesawat, karena memang amplop itu dikirimkan dari sebuah kota yang hanya berjarak sekitar 120 km dari desaku. 

Surat itu merupakan balasan suratku terdahulu yang berisikan puisi ini:

Suratku itu memang tidak kuniatkan untuk mendapatkan balasan. Aku hanya ingin dia tahu bahwa aku kecewa. Kecewa sekali. 

Sekian lama aku mencoba mengobati kepedihannya karena telah dikhianati oleh orang yang pernah sangat dicintainya. Dengan sabar kunasehati dia, bahwa tidak semua laki-laki adalah pengkhianat. Kuberi dia kebebasan untuk melakukan apa yang dia suka, selama tidak bertentangan dengan kaidah agama. 

Kutemani dia dalam suka maupun duka. Tapi apa yang kudapat? Tetap saja dia beralasan, 

“It’s impossible, a Long Distance Relationship. 

Aku sudah pernah mengalaminya Mas. Mending untuk sementara kita jalan sendiri-sendiri saja. For a while we break apart.” 

Yah, semua itu dia ucapkan ketika aku telah menyelesaikan kuliahku di kota pendidikan ini, dan aku diterima bekerja di ibu kota. Sementara dia sendiri masih harus menyelesaikan tugas akhirnya. 

Ugh, mendengar argumennya tersebut tiba-tiba egoku sebagai laki-laki menggelegak. 

“Oke deh kalau itu yang kamu mau. We break!” 

Aku berangkat ke Jakarta dan kutulis puisi itu.

Sekian tahun merantau di ibu kota, ternyata dewi fortuna banyak memihakku. Dalam waktu relative singkat karirku di perusahaan otomotif terkemuka dari Jepang ini melesat. Bak meteor di angkasa pada malam hari. 

Cerah bergemerlapan. 

Hanya dalam kurun waktu sepuluh tahun, aku telah berhasil menjadi Division Head untuk urusan marketing. Aku sangat percaya dengan hoki, terutama tentang angka keberuntunganku 9. 

Lihat saja, aku lahir di tahun 72, bila dijumlah 7+2 = 9. Nomor rumahku 27. Maka nomor ponselpun aku set yang berakhir 72, dus ektensiku juga 272. Bahkan nomor mobilkupun B 2772 AA (Anto-Andi. Atau sebenarnya hati kecilku mengatakan Anto-Anti. Kalian akan tahu arti inisial ini nanti). 

Dan perhatikan,  peruntunganku tenyata memang dalam bidang marketing, yang mana jumlah hurufnya persis ada 9. Maka karirku di bidang marketing juga gemilang. 

Aku juga telah menikah dan mempunyai dua orang anak, perempuan dan laki-laki. Sebuah keluarga yang lengkap dan bahagia. Istriku orang Makasar. Dia cantik, sangat cantik bahkan, dan ini yang luar biasa. 

Aku bertemu dengan istriku sekitar delapan tahun lalu. Ketika itu jabatanku masih supervisor, dan perusahaanku mengadakan Annual Conference di kota Makasar, sekalian pembukaan cabang baru di kota yang sebagian besar showroom-nya dikuasai oleh keluarga Kalla tersebut. Pada saat opening ceremony yang dilakukan oleh President Direkturku, aku dikejutkan oleh penampilan seorang Stand Lady Escort yang sedang bertugas. Dari jauh kulihat dia sangat mirip dengan mantan kekasihku yang kutinggalkan di kota Yogya. Ketika kudekati dia, ketakjubanku kian menjadi-jadi. Tuhan memang Maha Kreator, mampu menciptakan mahluk yang nyaris sama dan sebangun, congruent, meskipun dilahirkan dari orang tua yang berbeda dan berjauhan tempat tinggalnya. Pinang dibelah dua, hatiku bergumam. 

Maka hari-hari konferensiku di kota Makasar menjadi kian menarik sejak perkenalanku dengan gadis itu. Setiap hari selama seminggu selalu kuluangkan waktu untuk menjumpainya. Kadang aku memilih untuk tidak lunch, yang penting aku bisa bersamanya. 

Aku telah jatuh cinta. 

Tak terasa waktu seminggu Annual Conference-ku kali ini berlalu dengan sangat cepat. Aku sudah harus pulang ke Jakarta. Meninggalkan pinang-dibelahdua-ku. Padahal biasanya aku merasa waktu seperti tak beranjak. Detik serasa menit, menit laksana jam, dan jam ibarat hari. Sangat menjenuhkan mendengarkan sales report and review dari masing-masing cabang. 

Presdir akan tertawa gembira dan memberikan applaus yang kadang berlebihan bila ada cabang yang prestasinya tremendous. Kalau perlu dilakukan sebuah standing ovation. Semua orang akan berdiri dan bertepuk tangan, bertempik sorak sembari si pemenang meneriakkan yel-yel kemenangannya. 

Sebaliknya tak ragu dia akan memaki cabang yang prestasinya di bawah bottom line. Dan semua orang akan melakukan koor yang super kompak, huuuuuuu! Penuh basa basi. 

Memuakkan!
***

Baru sehari aku di Jakarta, aku sudah merindukannya. Maka kuambil secarik kertas dan mulai kutuliskan sepucuk surat.


Tak kusangka ternyata gayung bersambut. Seminggu setelah kuposkan suratku, aku mendapatkan surat. Cap pos Makasar. Cacing dalam perutku langsung menari-nari, serasa mendapatkan irama tabla dari Afrika. Hatiku berbunga-bunga. Harum baunya. Bahkan adenium yang kesohor pun kalah semerbaknya. Agak tebal surat itu. 

Tak sabar kurobek sampulnya, dan beberapa helai kertas berjatuhan. Aha, Andiku, si pinangdibelahduaku, benar-benar mengirimkanku foto-fotonya. Di antara helai helai suratnya kutemukan gambar-gambarnya. Lima jumlahnya. Lima lembar foto ukuran postcard! Dalam suratnya dia memberita bahwa dia hampir tak percaya kalau aku memilihnya. Di antara sekian banyak Stand Lady Escort, dia merasa biasa saja. Tapi kenapa aku memilihnya. 

Dia tidak tahu bahwa bagiku dia adalah si pinangdibelahdua. Intinya dia menerima pinanganku, dia bersedia menjadi teman dekatku. Alhasil, kami melakukan apa yang sangat dikhawatirkan oleh mantan kekasihku, A Long Distance Relationship

Tiga tahun kami menjalaninya. Waktu itu belum ada ponsel yang memungkinkan orang dengan mudah saling ber-sms-ria. Koneksi internet pun masih sangat langka. Kalaupun di kantorku ada, namun di Makasar sana belum ada warnet yang berdiri. Jadi satu-satunya komunikasi kami hanyalah melalui surat. 

Nyatanya selama tiga tahun itu tidak sekalipun kami saling mengkhianati. Rahasianya ada tiga: Kepercayaan, kesetiaan, dan perangko!
***

Lebaran tahun ini memang jatah kami mengunjungi orang tuaku. Aku dan istriku punya kesepakatan untuk bergantian mengunjungi orang tua pada saat lebaran tiba. Tahun depan berarti kami akan ke Makasar.

Desa orang tuaku terletak di lereng gunung Prahu, sebuah desa yang sejuk dan damai. 

Nah, di laci meja belajar usangku itulah kutemukan surat itu. Rupanya dia membalas surat puisi yang kukirimkan sebelum aku berangkat tempo hari. Dan karena aku sudah berangkat ke Jakarta, maka oleh adikku, surat itu disimpannya di laci meja belajar itu. 

Sampulnya bahkan sudah menguning. Aku tak tahu kenapa hatiku jadi berdebar-debar. Pelahan kurobek ujung sampul itu. Dengan hati-hati seolah takut akan mengoyak lembarnya kukeluarkan sehelai kertas. Isinya singkat,


Aku tertegun. Helai surat itu terjatuh. Hatiku luruh. Beribu tanya menghunjam ulu hatiku. Di manakah dia sekarang berada? Sudah menikahkah? Berapa anaknya? Siapa laki-laki beruntung yang menjadi suaminya? Dan masih banyak tanya lagi. 

Kenapa waktu itu kau biarkan egomu berkuasa. Dan kukutuki diriku sendiri karena melakukan hal sama. Membiarkan ego berkuasa. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Jalinan nasibku sudah menggeluntur. Tak tahu dengannya. Sejak mendapatkan surat itu hatiku sering gelisah. Sebenarnya ada satu tanya yang utama. Apakah dia bahagia?
***

Sejak kepulanganku terakhir ke desaku itu aku jadi rajin bertanya. Mencari tahu keberadaanya. Kutanya para sahabat lama. Nihil. Kutelepon universitasnya. Hampa. Sampai suatu ketika aku menyambangi cabang di kota kelahirannya, kucari tahu keberadaannya. Berbekal nama ayahnya yang lamat-lamat kuingat, akhirnya aku mendapatkan seberkas titik terang. 

Ya, akhirnya kudapatkan juga kabar tentangnya. Ternyata selama sekian tahun ini dia tak pernah meninggalkan Yogyakarta. Menurut pamannya dia bekerja di sebuah leasing kendaraan bermotor di kota pelajar itu. Tapi tepatnya di mana, pamannya tidak tahu.

Aku beruntung hidup di zaman serba digital seperti sekarang ini. Di zaman ini, berbekal sebuah kata kunci, keyword, sudah cukup untuk mencari barang atau alamat bahkan nomor telepon yang kita kehendaki. Kumasukkan keyword tadi ke dalam search engine di internet. Sim salabim, abrakadabra, dalam sekejap sudah kutemukan nama beberapa leasing di kota pelajar itu. Keajaiban teknologi memang kadang sulit untuk dipercaya. Kupersempit perimeternya dengan mencari leasing yang berada di dalam kota.

Setelah melakukan beberapa kali interlokal, akhirnya aku menemukan nama yang kucari. Dan hari itu adalah hari ulang tahunnya. Langsung aku minta untuk dihubungkan dengannya. 

Sweety, happy birthday ya. Semoga tetap sehat dan setia selalu”. 

Aku bisa merasakan ada keterkejutan di seberang sana. Ya, memang setiap ulang tahunnya, selalu kalimat itu yang aku ucapkan. Bukan selamat ulang tahun, met ultah, atapun panjang umur. Tetap sehat dan setia adalah falsafah hidupku. Anti sangat faham dengan falsafahku itu. Dan sweety adalah panggilan sayangku untuknya. Agak lama dia tetap terdiam. Mungkin juga mematung memegang gagang telepon, seperti Atlas yang memanggul bola dunia. Kaku. 

”Mas Anto? Benarkah ini Mas Anto?” Suara itu bergetar. ”Apakah ada orang lain yang pernah berkata seperti itu, Sweety?” tanyaku lagi, retoris. ”Masya Allah, dari mana Mas mendapatkan nomor ini. Sepuluh tahun tidak ada kabarnya, dan tiba-tiba mengagetkanku dengan sapaan khasmu itu. Apa kabarmu, tetap sehat khan?” 
”Alhamdullillah aku sehat , Sweety. Kamu sendiri bagaimana? Berapa anakmu sekarang?”

Mendengar pertanyaanku yang terakhir itu dia terdiam. Agak lama baru dia menjawab, “Aku belum married Mas.”

Jleleger, serasa aku mendengar petir di siang bolong. Kenapa sweety? Kenapa kau belum melakukan sunnah Rasulmu? Apa sebenarnya yang kau cari? 

Usut punya usut, ternyata seperti yang pernah dia tuliskan di penghujung suratnya itu. Dia tidak pernah lekang dalam mencintaiku. Setiap kali berkenalan dengan seorang pria, selalu saja dia mem-bench mark denganku. Dan parahnya, tak ada seorang pun yang setara denganku. Semua pria hanyalah paduka duli semata. Maka kepercayaannya kepada laki-laki yang pernah aku pulihkan pun luruh lagi. Menguap seperti kemarau sepenanggungan yang ditingkah hujan sehari. Maka sampai hari ini dia memilih untuk tetap sendiri. 

Kembali kukutuki diriku, kenapa waktu itu kubiarkan ego ini berkuasa. Aku begitu marah sampai-sampai berkirim kabar pun tak mau lagi. Kutenggelamkan diriku dalam rutinitas pekerjaan yang memang mengantarku pada carrier achievement yang tidak mengecewakan. Apalagi sejak pertemuanku dengan si pinangdibelahduaku, aku betul-betul sudah melupakan Anti. Kini penyesalanku tiada arti.
***

Sweety, besok aku akan ke Yogya. Menginap di Purosani. Bisa datang?” Begitu bunyi sms yang kukirimkan kepada Anti siang tadi selesai Monthly Business Review dengan tim Jakarta. Jadwalku besok memang MBR di Yogyakarta, kemudian lusa ke Surabaya, Kalimantan, dan terakhir di Makasar. Dengan jadwal yang padat seperti itu maka tidak memungkinkanku untuk menemuinya di kostnya, atau meng-arrange sebuah candle light dinner, karena malam itu juga aku harus segera mengejar flight ke Surabaya. Maka pilihan satu-satunya adalah memintanya untuk datang ke hotel. Lagian niatku cuma satu, aku ingin mendengar ceritanya, dan yang terpenting adalah mengembalikan kepercayaannya kepada laki-laki. 

Agar dia bisa segera mendapatkan kebahagiaan seperti yang telah kuperoleh. Lain tidak. Apalagi komitmenku kepada si pinangdibelahduaku tak mungkin kukhianati. Aku sangat mencintainya. Sore itu, selesai MBR yang lumayan alot, karena memang performance cabang kota dengan inflasi tertinggi di Indonesia ini kurang memuaskan, aku kembali ke kamar untuk mandi dan bersiap-siap ke bandara. 

Tiba-tiba bel berbunyi, kubuka pintu kamar masih mengenakan piyama hotel. Di depan pintu kulihat Anti berdiri mematung, mungkin agak takjub melihat penampilanku kini. 

Wajahku rapi, tanpa segelintir pun kumis dan jenggot. Rambutku dipotong cepak, meski tak bergaya crew cut. Elegant. Dulu aku gondrong dengan kumis dan jenggot awut-awutan. Sementara aku pun tak kalah terpesona. Anti masih seperti Antiku yang dulu. Nyaris tak bertambah tua sedetik pun. Justru sedikit guratan di beberapa sudut wajahnya semakin menambah kecantikan dan bernuansa lebih dewasa. Tiba-tiba jantungku terpacu lebih cepat. Takikardia kata dokter pribadiku. Tapi degub ini sama sekali tak berhubungan dengan ketaknormalan jatung secara fisiologis. Justru ini detak jantung psikologis. 

Aku nervous

”Mau mematung saja di pintu atau perlu kugendong?” Segera kucairkan suasana dengan cara meledeknya. Gila, aku telah mencoba merayunya. Dengan tersipu-sipu dia melangkahkan kaki ke dalam kamar. Aku duduk di meja kerja, dan dia kupersilakan untuk duduk di spring bed. Jengah. 

Tak sempat lagi terucap kata. Kami hanya saling pandang. Namun anehnya komunikasi terjalin dengan cara ini. Bisa kutemukan sebuah nyeri kerinduan nan tak terperi nun jauh di dasar kornea matanya. Sebuah kerinduan bisu yang tak pernah terucap.

Sunyi. Sesunyi lereng Merapi di subuh hari. Tiba-tiba tanpa tahu siapa yang memulai, dia telah berada dalam rengkuhan kekarku. Selanjutnya yang terdengar hanyalah nafas yang saling memburu. Di depan sweety-ku ini falsafahku tak mampu kupertahankan. Puisiku luruh. Aku tlah menjelma menjadi sang paduka duli.

Jakarta, Agustus 2005

Komentar

Postingan Populer