Pulangnya Penduduk Langit


Sudah tujuh hari Mbah Mah berpulang. Suasana rumah duka bertempat di warung makannya yang sederhana masih dibanjiri pelayat. Tidak tua, tidak muda, baik pria, maupun wanita, orang Jawa, orang Cina, semua berlomba mendoakan. Mereka berduka. 

Mbah Mah adalah pemilik warung nasi di kampung kami. Usianya sekitar 70-an, dengan dandanan khas wanita Jawa. Kain batik, baju kebaya, lengkap dengan sanggulnya yang elegan. Tak ada yang istimewa dengan warung atau menu masakan Mbah Mah. Namun warung itu senantiasa dijejali pelanggan. Mulai dari jam 6 pagi sampai jam 9 malam. Semua itu terjadi lebih karena pesona dan keramahan Mbah Mah. 

Selepas shalat subuh, dibantu oleh beberapa asisten yang masih kerabat dekatnya, Mbah Mah sudah meracik bumbu soto, brongkos, dan beberapa sayur lainnya. Maka begitu jarum jam menunjukkan angka 6, Mbah Mah sudah standby di depan warung. Tentu dengan dandanan khas, serta senyum ramahnya. 

Mbah Mah hapal nama semua pelanggannya, termasuk menu favorit mereka. Tanpa pernah mengecap ilmu pemasaran sedikit pun, Mbah Mah bahkan sudah menerapkan ilmu diferensiasi. Tak heran jika para pelanggan rela mengantre demi menikmati racikan khas tangan dingin Mbah Mah. 

Mbah Mah tidak pernah membedakan strata sosial pelanggannya. Tidak lurah, camat, pengusaha, polisi, tentara, atau tukang sampah, semua dilayani dengan kualitas prima yang sama. Jika di warung lain terdapat peringatan, 'Pengamen & Pengemis dilarang masuk!' Mbah Mah justru punya sebuah kaleng khusus untuk menyimpan uang receh untuk diberikan kepada pengamen & pengemis yang datang ke warungnya. 

Pernah, seseorang dengan pakaian lusuh berdiri di depan warung. Dia ragu untuk masuk. Mbah Mah melihat pria setengah baya ini melalui ekor matanya. Begitu ada jeda sejenak dalam antrian, Mbah Mah menghampirinya. 
"Sampeyan siapa, dan mau apa?"
"Nyuwun sewu, sudah sering saya lewat warung ini. Aroma soto di pagi hari selalu merangsang cacing di perut saya. Hari ini saya sudah tidak tahan lagi. Saya ingin mencicipi soto Mbah Mah, tapi duit saya tidak cukup. Saya hanya punya..."

Tanpa menunggu pria itu meneruskan kalimatnya, dengan sigap Mbah Mah menariknya untuk masuk dan memberikan sebuah kursi. Dengan cekatan Mbah Mah meracik semangkuk soto, seolah untuk pejabat. Sejurus kemudian di meja pria tadi sudah terhidang semangkuk soto ayam, lengkap dengan lauk penyertanya. 

Takjub dan terbata-bata, pria tadi meneruskan kalimatnya yang terpotong, "Saya hanya punya uang setengah harga soto Mbah Mah. Ini kok dihidangkan soto komplit?"

"Monggo, sampeyan boleh menghabiskan semua makanan ini," ujar Mbah Mah tulus. 

Tak menunggu lama isi mangkuk itu sudah tandas tanpa sisa. Dua tempe garit, satu perkedel dan satu tusuk sate telur puyuh ikut menggelinding ke dalam perut pria setengah baya itu. 

Kejadian semacam itu bukan hanya sekali terjadi. Mbah Mah tidak pernah tega membiarkan orang yang ingin menikmati masakannya hanya bisa menelan ludah, karena tidak mampu membayar. 

Rupanya kebaikan hati Mbah Mah ini dimanfaatkan oleh beberapa orang. Ada beberapa pelanggan yang sengaja 'ngemplang' alias makan tidak bayar. Apa Mbah Mah marah? Justru sebaliknya!
Jika orang yang sudah ditandai ngemplang tadi datang lagi untuk jajan, Mbah Mah berpesan kepada semua asistennya untuk tetap melayani dengan ramah. Dan ketika orang itu selesai makan, Mbah Mah akan memberi kode kepada asistennya untuk pura-pura sibuk di belakang. Memberi kesempatan orang tadi keluar warung tanpa merasa sungkan, malu, atau takut. 

Jika asistennya bertanya alasan melakukan hal tersebut, dengan santai Mbah Mah menjawab, "Mbah sadar bukan orang mampu, tapi Mbah yakin tidak akan bangkrut hanya karena memberi makan satu atau dua pelanggan seperti itu. Mbah yakin juga dengan memberi makan orang seperti ini, anak-anak Mbah tidak akan kelaparan di luar sana."

Terbukti, empat anak Mbah Mah, tiga laki-laki dan bungsu perempuan, semuanya berhasil menjadi orang. Sulung bekerja di BUMN sebagai asisten direktur. Anak kedua menjadi penulis buku serta motivator handal. Sementara dua kakak beradik terakhir adalah dosen di Universitas Negeri ternama. Semua itu terwujud berkat warung makan Mbah Mah. 

Beberapa tahun silam, tanpa sepengetahuan Mbah Mah, anak-anaknya mendaftarkan Mbah Mah ke sebuah biro bimbingan haji, dan menabung BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji). Setiap bulan secara bergantian mereka menyetor dana talangan haji ke sebuah BMT. 

Awal tahun ini Mbah Mah dikagetkan oleh sebuah surat dari Kementrian Agama mengabarkan jadwal keberangkatan ke Tanah Suci. Dalam haru, syukur, dan takjubnya tersimpan sebuah kekhawatiran kecil di dasar hatinya. 
"Mbah kan belum bisa ngaji. Mbah juga belum pernah naik pesawat terbang. Kok disuruh naik haji?" Suara-suara di antara dua telinganya itu silih berganti bergaung. 

Rupanya anak-anaknya bisa mengerti beberapa kekhawatiran Mbah Mah. Maka dipanggil guru mengaji untuk mengajarkan Mbah Mah hapalan doa-doa haji. Awal tahun ini kegiatan Mbah Mah bertambah, yaitu belajar mengaji dan manasik haji. Dan itu dilakukan di sela-sela kesibukannya mengurus warung yang semakin ramai. 

Tiga bulan berlalu, dan tidak seorang pun menyadari perubahan pada diri Mbah Mah. Di usia senjanya postur Mbah Mah terlihat semakin gemuk di bagian perut. Orang berpikir hal ini normal. Sampai suatu hari Mbah Mah mengeluh karena tidak bisa buang air kecil. 

Setelah anak-anaknya berembug singkat, Mbah Mah langsung dibawa ke RS untuk dilakukan pemeriksaan menyeluruh. Hasil USG dan rontgen menyatakan adanya tumor dengan diameter 14 cm di rahim Mbah Mah. Daging tumbuh inilah yang menekan saluran kencing sehingga Mbah Mah tidak bisa berkemih. 

Satu-satunya jalan keluar situasi ini adalah operasi. Sementara waktu keberangkatan haji tinggal dua bulan lagi. Dengan mempertimbangkan faktor usia dan kedaruratan kondisi Mbah Mah, anak-anaknya bersepakat untuk mengambil risiko operasi. 

Alhamdulillah, operasi pengangkatan tumor berjalan lancar. Setelah satu minggu dirawat di RS, Mbah Mah diizinkan untuk pulang. Dan hanya bisa diam seminggu di rumah, begitu jahitan bekas operasi mengering, Mbah Mah sudah aktif melayani para pelanggan lagi. 

"Kasihan para pelanggan kalau sampai tidak bisa menikmati soto Mbah, hanya karena Mbah tidur-tiduran saja di dipan." Begitu kilah Mbah Mah waktu ditegur anak bungsunya. Itulah Mbah Mah, selalu memikirkan kebutuhan orang lain. Kadang sampai lupa bahwa dirinya juga punya kebutuhan. Salah satunya adalah kebutuhan makan. 

Tanpa disadari oleh orang-orang terdekatnya, sepulang dari RS itu nafsu makan Mbah Mah turun drastis. Lamban laun tubuhnya pun makin kurus. Namun Mbah Mah tetap menjalankan aktivitas hariannya dengan penuh semangat. Mbah Mah tetap melayani para pelanggan dengan gegap gempita. Kemana pun ada undangan mantu, khitanan, atau tilik bayi, Mbah selalu mendatangi. Seminggu dua kali Mbah Mah tetap mengaji. Pun manasik haji dijalankan dengan sepenuh hati. 

Waktu keberangkatan haji tinggal hitungan hari. Anak-anak bahkan sudah mempersiapkan acara walimatus safar esok malam. Dibantu asistennya, Mbah Mah sudah menyiapkan 1000 porsi soto untuk dibagikan gratis keesokan paginya. Tratak dan kursi tambahan juga sudah dipasang di area parkir warung. 

Namun manusia hanya bisa berencana. Kuasa Allah jua yang menjadi nyata. Azan subuh baru selesai berkumandang. Warung Mbah Mah sudah heboh. Bukan karena persiapan acara hari itu yang kurang. Namun karena Mbah Mah tidak kunjung bangun untuk menunaikan kebiasaan paginya.  Padahal biasanya jam 3 dini hari, Mbah Mah sudah bangun dan langsung menjerang air untuk mandi. Setelah itu Mbah Mah akan mendirikan shalat malam, dan kemudian bermunajat kepada Sang Khalik sampai subuh menjelang. Setelah shalat subuh, baru Mbah Mah melakukan persiapan warungnya. 

Si bungsu yang memang masih tinggal satu rumah, bergegas masuk kamar untuk membangunkan Mbah Mah. Berselimutkan kain lurik kesayangannya, Mbah Mah terlihat masih tidur dalam senyum. Ketika si bungsu mencium pipi Mbah Mah, masih terasa hangat pipi keriput itu. Alangkah terkejutnya si bungsu ketika menyadari bahwa dada Mbah Mah berada dalam kondisi stagnan. Tanpa ada gerakan naik turun pertanda orang bernapas. Ketika nadi di pergelangan dicek, tanda kehidupan itu sudah tiada. Innalilahi wa innailaihi rajiuun. Mbah Mah sudah berangkat duluan ke rumah Allah. Padahal tinggal satu minggu lagi kloter Mbah Mah akan diberangkatkan ke Baitullah. 
---

Kabar langsung menyebar dengan sangat cepat. Sesubuh itu warung Mbah Mah langsung ramai berdesakan orang. Bukan, mereka bukan hendak berebut porsi soto yang sudah disediakan. Seolah mereka berlomba untuk mengucapkan salam perpisahan kepada Mbah Mah. 

Tanpa menunggu lama, jenazah Mbah Mah segera dimandikan dan dikafankan. Dan karena tidak ada keluarga yang ditunggu, pagi itu juga jenazah Mbah Mah langsung diantar ke makan untuk dikuburkan. 

Setelah doa pelepasan dibacakan, para pelayat berebut untuk menjadi pengusung keranda yang pertama. Bahkan ada 2 orang dengan dandanan punk yang memanggul keranda bagian depan yang tidak mau digantikan. Sambil menangis mereka berkata, "Kalau bukan karena Mbah Mah, kami pasti sudah mati. Waktu itu, kami dikejar massa karena dituduh mencopet. Tidak ada satu orang pun yang percaya kepada kami. Tapi Mbah Mah melindungi kami. Bukan hanya mengganti uang yang dituduhkan kami copet, Mbah Mah juga merawat kami setelah itu. Kami boleh datang dan makan di warungnya kapan pun kami mau. Biarkan kami membalas kebaikan Mbah Mah dengan mengantarkan beliau ke peristirahatan terakhirnya"

Keranda pun bergerak dengan sangat cepat, laksana terbang. Sepanjang 5 km perjalanan keranda itu menuju pemakaman, semua perempatan jalan terbuka dengan lapang. Rombongan warga yang mengantarkan jenazah tak ubahnya ular panjang tanpa terputus. Hanya dalam waktu kurang dari setengah jam, jenazah sampai di masjid seberang pemakaman. Masjid itu sudah penuh sesak dengan jubelan warga yang ingin ikut memberikan penghormatan terakhir kepada Mbah Mah. 

"Sudah bertahun-tahun masjid ini belum pernah dipenuhi jamaah sholat jenazah. Baru pagi ini terjadi!" Celoteh seorang ibu dengan takjub. 

Prosesi pemakaman setelah itu berjalan dengan sangat cepat. Namun berbeda yang dirasakan oleh si bungsu. Semua tindakan penggali kubur. Ketiga kakak yang menurunkan Mbah Mah ke liang kubur. Semua serasa slow motion. Dalam suasana gerak lambat itu, anehnya dia melihat Mbah Mah yang memakai pakaian serba hijau, di antara para takziah. Gamis hijau dan jilbab hijau. Mbah Mah terlihat sangat cantik. 

Kemudian Mbah Mah mengajak si bungsu jalan-jalan. Meski terasa sangat lambat, namun tetiba saja mereka sudah sampai di sebuah rumah megah. Rumah itu tidak besar, namun terlihat sangat indah. Arsitekturnya modern dengan fasad dari batu alam, kayu, dan kaca besar. Di samping kanan terlihat taman yang rapi dengan air mancur dan bunga berwarna-warni. Suara air mengalir dari air mancur dan kicauan burung terdengar sepoi-sepoi.

"Rumah siapa ini Mak?"
"Ini rumah Ma'e yang baru. Mau lihat-lihat?"

Si bungsu mengangguk, penasaran. 

Tekstur batu alam di jalan setapak menuju rumah dan aroma bunga yang menyegarkan terasa sangat menenangkan hati si bungsu. Begitu masuk ke ruang tamu, si bungsu merasa sangat takjub. Ruang tamu itu memiliki langit-langit tinggi, chandelier kristal, dan lantai marmer berkilauan. Hanya terdapat satu set sofa empuk, beralaskan karpet tebal di ruangan besar itu. Jendelanya besar dengan pemandangan taman dan bunga warna-warni. Musik gamelan dengan irama uyon-uyon mengalun lembut disempurnakan oleh sejuknya suhu ruangan tamu tersebut.

Mulut si bungsu masih ternganga karena takjub, ketika dengan lembut tangannya dituntun Mbah Mah menuju kamar tidur. 
Begitu pintu kamar yang terbuat dari kayu jati terkuak, terpampanglah pemandangan suite room luas dengan tempat tidur king-size, berlapis linen berkualitas, dan balkon pribadi. Ada yang unik dari tempat tidur itu. Selain empat tiang penyangga kelambu, kasurnya adalah kasur kapuk, bukan spring bed. 

Suara kicauan burung dan gemericik air dari taman samping rumah menelisik sampai ke kamar itu. Di sudut kamar ada pintu berbahan frosted glass sebagai akses menuju kamar mandi. Mulut si bungsu semakin ternganga ketika melongok ke dalam kamar mandi. 

Kamar mandi seperti itu hanya pernah dia lihat di hotel bintang lima. Lantai dan dindingnya dari marmer. Ada bathtub besar dengan ornamen taman pada bagian belakangnya. Namun, yang agak kontras dengan kemewahannya adalah WC jongkok di sudut kamar mandi tersebut. 

House tour pagi itu berakhir di dapur dan ruang makan. Dapur ini memiliki konsep ruang terbuka yang menyatu dengan ruang makan dan ruang keluarga, memungkinkan interaksi yang lancar antara anggota keluarga dan tamu. Jendela besar yang menghadap taman belakang memberikan pencahayaan alami yang melimpah, menambah kesan lapang dan mewah. 

Kabinet kayu ebony dengan warna gelap berpadu dengan pegangan logam berlapis krom memberikan tampilan yang sleek dan elegan. Lemari-lemari tinggi menyediakan ruang penyimpanan yang cukup tanpa mengurangi estetika ruangan. Countertop dapur itu terbuat dari granit dengan pola alami indah yang memberikan sentuhan mewah. Backsplash mosaik kaca dengan desain minimalis menambahkan kilau dan tekstur yang menarik.

Tepat di tengahnya, terdapat kitchen island besar dengan permukaan granit, dilengkapi dengan kursi bar yang tinggi, menciptakan tempat meracik bumbu yang sangat nyaman, atau sekedar area untuk sarapan cepat.  

Rumah ini adalah perpaduan sempurna antara kemewahan, kenyamanan, dan kebutuhan Mbah Mah. Dari luar tadi terlihat rumahnya tidak terlalu besar, namun bagian dalamnya sangat menakjubkan. 

"Nduk, Ma'e njaluk ngapura. Ma'e minta maaf kalau tidak bisa berangkat ke tanah suci. Sampaikan maaf dan terimakasih Ma'e ini kepada kangmasmu semua. Sebagai muslimah, tentu Ma'e ingin menyempurnakan rukun Islam, dan hati Ma'e begitu gembira ketika mendapatkan undangan ke tanah suci itu. Tapi ketahuilah ketakutan Ma'e ini. Seumur hidup Ma'e tinggal di kampung ini. Ma'e belum pernah pergi jauh, apalagi naik pesawat terbang. Mbuh apa rasanya terbang berada di atas awan nanti. Ma'e takut Nduk, anakku. 

Kamu juga tahu to, Ma'e tidak bisa buang air kalau WC-nya duduk? Belum lagi nanti di sana pasti tidur di springbed. Ma'e ini wong ndeso yang cuma biasa tidur di kasur kapuk. Semua itu membuat Ma'e takut Nduk. 

Dalam ketakutan ini, tadi pagi ada dua orang berbaju putih yang mengajak Ma'e jalan-jalan melihat rumah ini. Katanya, semua orang yang pergi ke tanah suci, nantinya juga bakal beroleh rumah seperti ini. Ma'e ditawari satu rumah ini, dan Ma'e senang rumah ini. Semua kebutuhan Ma'e ada di sini. Ma'e masih bisa masak di sini. Dapurnya nyaman. Semuanya nyaman. Ikhlaskan Ma'e ya Nduk? Nah, sekarang Ma'e mau leyeh-leyeh dulu."

Usai berkata-kata seperti itu, Mbah Mah masuk kamar, dan mengunci pintunya. Si bungsu berusaha mengejar, dan mengetuk pintu kamar. 

"Mak, buka Mak...!"
Namun pintu itu tak kunjung dibuka. "Mak, buka Mak. Aku mau masuk"
Sayup-sayup, dia mendengar suara Mbah Mah, "Pulanglah Nduk. Ma'e sudah senang di sini"

Dan suara itu makin jelas. Hanya warna suara serta jumlah suaranya yang berganti. "Pulang yuk Nduk. Ikhlaskan Ma'e ya. Ma'e sudah senang di sana"

Si bungsu merasa pipinya ditepuk-tepuk. Bau cologne yang sangat menyengat menusuk-nusuk hidungnya. Perlahan dia membuka mata, dan menyadari kalau ketiga kakaknya sedang merubungnya. Dia masih terduduk di tempat semula. Di depannya terpampang sebuah kuburan baru bertabur bunga mawar berwarna-warni. Prosesi pemakaman Mbah Mah sudah selesai. 

"Ya Mak. Aku ikhlas," ucap si bungsu lirih. 

Bogor, 20 Juni 2024
Mengenang 40 hari kepergian Ma'e. 
Al Fatihah...

Komentar

Postingan Populer